GELOMBANG
Gelombang adalah getaran yang merambat. Di dalam perambatannya tidak diikuti oleh berpindahnya partikel-partikel perantaranya. Pada hakekatnya gelombang merupakan rambatan energi (energi getaran)
Macam gelombang
Menurut arah getarnya :
- gelombang transversal adalah gelombang yang arah getarnya tegak lurus terhadap arah rambatannya. Contoh: gelombang pada tali , gelombang permukaan air, gelobang cahaya, dll.
- gelombang longitudinal adalah gelombang yang arah getarnya sejajar atau berimpit dengan arah rambatannya. Contoh: gelombang bunyi dan gelombang pada pegas.
Menurut amplitudo dan fasenya :
- gelombang berjalan adalah gelombang yang amplitudo dan fasenya sama di setiap titik yang dilalui gelombng.
- gelombng diam (stasioner) adalah gelombang yang amplitudo dan fasenya berubah (tidak sama) di setiap titik yang dilalui gelombang.
Menurut medium perantaranya :
- gelombang mekanik adalah gelombang yang didalam perambatannya memerlukan medium perantara. Hampir semua gelombang merupakan gelombang mekanik.
- Gelombang elektromagnetik adalah gelombang yang didalam perambatannya tidak memerlukan medium perantara. Contoh : sinar gamma (γ), sinar X, sinar ultra violet, cahaya tampak, infra merah, gelombang radar, gelombang TV, gelombang radio.
Persamaan Umum Gelombang
Besaran-besaran dalam gelombang hampir sama dengan besaran-besaran yang dimiliki oleh getaran, antara lain, periode, frekuensi, kecepatan, fase, amplitudo. Ada satu besaran yang dimiliki oleh gelombang tetapi tidak dimiliki oleh getaran, yaitu panjang gelombang.
A
B
C
puncak gelombang
lembah gelombangUntuk memperjelas pengertian, perhatian keterangan dan gambar di bawah ini :
Periode gelombang (T) adalah waktu yang diperlukan oleh gelombang untuk menempuh satu panjang gelombang penuh.
Panjang gelombang (λ) adalah jarak yang ditempuh dalam waktu satu periode (jarak antara A dan C)
Frekuensi gelombang adalah banyaknya gelombang yang terjadi tiap satuan waktu.
Cepat rambat gelombang (v) adalah jarak yang ditempuh gelombang tiap satuan waktu.
v = λ.fDituliskan dengan persamaan : v = , dalam hal ini jika t diambil nilai ekstrem yaitu periode (T), maka S dapat digantikan dengan λ (panjang gelombang). Sehingga persamaan di atas dapat ditulis menjadi :
v = , dan karena f = , maka persamaan tersebut juga dapat ditulis sbb:
Keterangn : T = periode ( s )
f = frekuensi ( Hz )
λ = panjang gelombang ( m )
v = cepat rambat gelombang ( m/s )
Contoh Soal 1 :
Sebuah gelombang pada permukaan air dihasilkan dari suatu getaran yang frekuensinya 30 Hz. Jika jarak antara puncak dan lembah gelombang yang berturutan adalah 50 cm, hitunglah cepat rambat gelombang tersebut!
Penyelesaian :
Diketahui : f = 30 Hz , ½ λ = 50 cm à λ = 100 cm = 1 m
Ditanya : v = ..?
Jawab : v = λ.f = 1.30 = 30 m/s
Contoh Soal 2 :
Sebuah pemancar radio bekerja pada gelombang 1,5 m. Jika cepat rambat gelombang radio 3.108 m/s, pada frekuensi berapakah stasion radio tersebut bekerja!
Penyelesaian :
Diketahui : λ = 1,5 m, v = 3.108 m/s
Ditanya : f = ..?
Jawab : f = = = 2. 108 Hz = 200 MHz
1. Gelombang Berjalan
A
P
xDari gambar di samping, jika tali yang sangat panjang dibentangkan dan salah satu ujungnya digetarkan terus menerus, maka pada tali akan terjadi gelombang berjalan di sepanjang tali. Jika titik P berjarak x dari A dan ujung A merupakan sumber getar titik A telah bergetar selama t, maka titik P telah bergetar selama
, dimana v = kecepatan gelombang pad tali.
Dari keadaan di atas, maka kita dapat menentukan persamaan gelombang berjalan yaitu :
, karena , maka :
, karena Tv = λ, maka :
, dapat juga ditulis dengan persamaan :
atau
Faktor ( bilangan gelombang), dan persamaan di atas dapat juga ditulis sbb:
, dimana yp = simpangan getar di P ( m atau cm )
A = Amplitudo ( m atau cm )
ω = kecepatan sudut ( rad/ s )
t = waktu ( s )
k = bilangan gelombang ( /m )
x = jarak titik a terhadap titik P ( m atau cm )
λ (lambda) = panjang gelombang ( m atau cm )
Contoh Soal 3:
Gelombang berjalan mempunyai persmaan y = 0,2 sin (100π t – 2π x), dimana y dan x dalam meter dan t dalam sekon. Tentukan amplitudo, periode, frekuensi, panjang gelombang, dan cepat rambat gelombang tersebut !
Penyelesaian :
Diketahui : y = 0,2 sin (100π t – 2π x)
Ditanya : A = …?, T = …?, f = ..?, λ = ..?, v = ..?
Jawab : Kita dapat menjawab soal tersebut dengan cara membandingkan persamaan gelombang dalam soal dengan persamaan umum gelombang berjalan yaitu sbb :
y = 0,2 sin (100π t – 2π x) ………( 1 )
………….( 2 )
Dari persamaan (1) dan (2), maka dpat diambil kesimpulan bahwa :
Amplitudonya adalah : A = 0,2 m
Periode dapat ditentukan sbb: 100π = , sehingga T = s
Dari T = s, maka dapat dicari frekuensinya , yaitu f = Hz
Panjang gelombang ditentukan sbb: 2π x = , sehingga 1 m
Dari hasil f dan λ, maka cepat rambat gelombangnya adalah : v = λ.f = 50.1 = 50 m/s
Cepat rambat gelombang dapat juga ditetnukan dengan : m/s
2. Gelombang stasioner (diam)
Gelombang stasioner ini dapat terjadi oleh karena interferensi (penggabungan dua gelombang yaitu gelombang datang dan gelombang pantul.
Pantulan gelombang yang terjadi dapat berupa pantulan dengan ujung tetap dan dapat juga pantulan dengan ujung bebas. Jika pantulan itu terjadi pada ujung bebas, maka gelombang pantul merupakan kelanjutan dari gelombang datang (fasenya tetap), tetapi jika pantulan itu terjadi pada ujung tetap, maka gelombang pantul mengalami pembalikan fase (berbeda fase 180O) terhadap gelombang datang.
Bentuk gelombang stasioner dapat dilukiskan sebagai berikut:
Ujung pantul
Ujung pantul Untuk ujung pantul bebas: Untuk ujung pantul tetap:
Dari gambar di atas terdapat titik-titik yang memiliki amplitudo terbesar (maks) dan titik-titik yang memiliki amplitudo terkecil (nol).
Titik yang memiliki amplitudo terbesar disebut perut gelombang dan titik yang memiliki amplitudo terkecil disebut simpul gelombng.
Dari gambar di atas dapat disimpulkan juga bahwa pada pantulan ujung bebas, ujung pantul merupakan perut gelombang sedangkan pada pantulan ujung tetap, ujung pantul merupakan simpul gelombang.
Percobaan Melde
A
FJika tali yang panjangnya l, dibentangkan dan diberi beban lewat katrol seperti gambar di samping serta ujung A digetarkan terus menerus, maka pada tali akan terbentuk gelombang transversal yang stasioner (diam).
Percobaan ini pertama kali dilakukan oleh Melde untuk menentukan cepat rambat gelombang transversal pada tali.
Dari hasil percobaannya Melde menemukan kesimpulan bahwa cepat rambat gelombang pada tali adalah :
berbanding lurus dengan akar kwadrat tegangan tali (F)
berbanding terbalik dengan akar kwadrat massa per satuan panjang tali (μ)
Dari dua pernyataan di atas dapat dituliskan dengan persamaan :
, dimana F ( m.g) = gaya tegangan tali ( N )
μ = massa per satua panjang tali ( kg /m )
v = cepat rambat gelombang pada tali ( m/s )
karena , maka persamaan di atas dapat juga ditulis :
Contoh Soal 4:
Seutas tali yang panjangnya 5 m, massanya 4 gram ditegangkan dengan gaya 2 N dan salah satu ujungnya digetarkan dengan frekuensi 50 Hz. Hitunglah:
cepat rambat gelombang pada tali tersebut !
panjang gelombang pada tali tersebut !
Penyelesaian :
Diketahui : l = 5 m, m = 4 gr = 4.10-3kg, F = 2 N, f = 50 Hz
Ditanya : a. v = ..?
b. λ = ..?
Jawab : a. = m/s
b. m
Contoh Soal 5:
Seutas tali yang ditegangkan dengan gaya 5 N dan salah satu ujungnya digetarkan dengan frekuensi 40 Hz terbentuk gelombang dengan panjang gelombang 50 cm. Jika panjang tali 4 m, hitunglah:
cepat rambat gelombang pada tali tersebut !
massa tali tersebut !
Penyelesaian :
Diketahui : l = 4 m, F = 5 N, f = 40 Hz, λ = 50 cm = 0,5 m
Ditanya : a. v = ..?
b. m = ..?
Jawab : a. v = λ.f = 0,5.40 = 20 m/s
b. ----à m = 0,05 kg
Soal Latihan
1. Sebuah gelombang pada tali dihasilkan dari suatu getaran dengan periode 0,25 s. Jika jarak antara puncak dan lembah gelombang yang berturutan adalah 40 cm, hitunglah panjang gelombang dan cepat rambat gelombang tersebut!
2. Sebuah pemancar radio bekerja pada frekuensi 300 MHz. Jika cepat rambat gelombang radio 3.108 m/s, pada panjang gelombang berapakah stasion radio tersebut bekerja!
3. Gelombang berjalan mempunyai persmaan y = 0,2 sin 2π (100 t – 2x), dimana y dan x dalam meter dan t dalam sekon. Tentukan amplitudo, periode, frekuensi, panjang gelombang, dan cepat rambat gelombang tersebut !
4. Seutas tali yang panjangnya 2 m, massanya 40 gram ditegangkan dengan gaya 2 N dan salah satu ujungnya digetarkan. Ternyata pada tali terbentuk gelombang dengan panjang gelombang 50 cm. Hitunglah:
a. cepat rambat gelombang pada tali tersebut !
b. frekuensi sumber gelombang tersebut !
5. Seutas tali yang ditegangkan dengan gaya F dan salah satu ujungnya digetarkan dengan frekuensi 40 Hz terbentuk gelombang dengan cepat rambat gelombang 50 m/s. Jika panjang tali 4 m dan massanya 25 gram, hitunglah:
a. gaya tegangan pada tali tersebut !
b. panjang gelombang pada tali tersebut !
BUNYI
Gelombang bunyi merupakan gelombang mekanik yang bersifat longitudinal. Menurut frekuensinya gelombang bunyi dibedakan menjadi 3 yaitu :
a. infrasonic ( f ≤ 20 Hz )
b. audio (audience ) ( 20 Hz < f < 20.000 Hz )
c. ultrasonic ( f > 20.000 Hz )
Dari ketiga jemis gelombang bunyi tersebut, hanyalah bunyi audio saja yang dapat ditangkap oleh tilinga manusia.
Cepat rambat Bunyi
Bunyi dapat merambat padaa 3 jenis zat, yaitu zat padat, zat cair, dan gas. Cepat rambat bunyi tersebut dapat ditentukan dengan persamaan:
a. pada zat padat
E = modulus Young (N/m2)
ρ = massa jenis zat (kg/m3)
v = cepat rambat bunyi ( m/s )
b. pada zat cair
B = modulus Bulk (N/m2)
ρ = massa jenis zat (kg/m3)
v = cepat rambat bunyi ( m/s )
c. pada zat gas
γ = konstante Laplce
R = konstante umum gas ( R = 8,31 j/molK)
T = suhu mutlak gas ( K )
M = massa molekul gas ( kg/mol)
Contoh Soal 1:
Suatu bunyi yang frekuensinya f = 250 Hz merambat pada zat padat yang memiliki modulus Young E =108 N/m2 dan massa jenisnya ρ = 2500 kg/m3. Tentukan :
cepat rambat bunyi
panjang gelombang bunyi
Penyelesaian :
Diketahui : f = 250 Hz, E =1010 N/m2, ρ =5000 kg/m3
Ditanya : a. v = …?
b. λ = …?
Jawab : =200 m/s
2.Intensitas Bunyi
Energi bunyi biasa disebut dengan intensitas bunyi yang menyatakan energi bunyi tiap satuan waktu yang menembus tiap satuan luas suatu bidang secara tegak lurus (Intensitas bunyi adalah besarnya daya bunyi tiap satuan luas bidang). Dari definisi tersebut intensitas bunyi dapat dinyatakan dengan persamaan :
Dimana : P = daya bunyi ( watt )
A = luas bidang ( m2 )
I = intensitas bunyi (waat/m2)
Apabila sumber bunyi berupa sebuah titik dan bersifat isotropis (menyebar ke segala arah), maka bidang yang ditembus oleh daya bunyi merupakan bidang kulit bola ( A = 4πr2 ). Maka persamaan intensitas bunyi di atas dapat dituliskan sebagai berikut :
, dimana r = jarak sumber bunyi ke suatu titik.
Dari persaman di atas, maka dapat disimpulkan bahwa intensitas bunyi di sutu titik berbanding terbalik dengan kuarat jarak titik tersebut ke sumber bunyi.
Sehingga jika sebuah titik yang berjarak r1 dari sumber bunyi memiliki intensitas I1 dan titik yang berjarak r2 dari sumber bunyi memiliki intensitas I2, maka akan berlaku persamaan:
, jadi
Dimana : I1 = intensitas bunyi di titik 1 (w/m2)
I2 = intensitas bunyi di titik 2 (w/m2)
Contoh Soal 2 :
Sebuah sumber bunyi mempunyai daya 200π watt. Tentukanlah intensitas bunyi di suatu titik yang berjarak 10 m dari sumber bunyi tersebut !
Penyelesaian :
Diketahui : P = 200π watt, r = 10 m
Ditanya : I = …?
Jawab : w/m2
Contoh Soal 3 :
Intensitas bunyi di suatu tempat yang berjarak 9 m dari sumber bunyi adalah 8.10-5 w/m2. Tentukanlah intensitas bunyi di suatu tempat yang berjarak 18 m dari sumber bunyi tersebut !
Penyelesaian :
Diketahui : r1 = 10 m, I1 = 8.10-5 w/m2
Ditanya : I2 = …?, apabila r2 = 18 m
Jawab :
w/m2
3.Taraf Intensitas Bunyi ( I )
Taraf Intensitas bunyi didefinisikan sebagai nilai logaritma dari perbandingan antara intensitas suatu bunyi dengan intensitas standar ( intensitas ambang pendengaran ).
Besarnya Taraf Intensitas bunyi dinyatakan dengn persamaan :
, dimana : TI = Taraf intensitas bunyi (dB)
I = intensitas bunyi ( w/m2 )
I0 = intensitas ambang pendengaran.
I0 = 10-12 w/m2
Ambang pendengaran didefinisikan sebagai inensitas bunyi terkecil yang masih dapat didengar oleh telinga normal. (I0 = 10-12 w/m2 )
Ambang peasaan didefinisikan sebagai inensitas bunyi terbesar yang masih dapat didengar oleh telinga normal tanpa rsa sakit (I = 1 w/m2 )
Contoh Soal 4 :
Intensitas bunyi di suatu tempat adalah 10-5 w/m2. Tentukanlah Taraf intensitas bunyi di tempat tersebut, jika diketahui intensitas ambang pendengaran I0= 10-12 w/m2 !
Penyelesaian :
Diketahui : I = 8.10-5 w/m2 I0= 10-12 w/m2
Ditanya : TI = …?
= 10 log ( ) = 10.log 10-7 = 10.7 = 70 dB
Contoh Soal 5 :
Taraf intensitas bunyi ssebuah mesin adalah 50 dB. Tentukanlah Taraf intensitas bunyi dari sepuluh buah mesin sejenis jika dibunyikan bersama-sama. Diketahui intensitas ambang pendengaran I0= 10-12 w/m2 !
Penyelesaian :
Diketahui : TI1 = 50 dB I0= 10-12 w/m2
Ditanya : TI10 = …?
Jawab : Dicari terlebih dahulu intensitas sebuah mesin.
50 = 10 log( )
5 = log
log 105 = log
105 =
I1 = 105.10-12
Kemudian dicari I10
I10 = 10. I1 = 10.10-7 = 10-6 w/m2
TI10 = 10 log = 10 log 10-6
TI10 = 10.6 = 60 dB
Soal tersebut di atas secara singkat dapat diselesaikan dengan persamaan sbb:
TIn = TI1 + 10 log n
Lihat penyelesaiannya !
TIn = TI1 + 10 log n
= 50 + 10.log 10
= 50 + 10 .1 = 50 + 10 = 60 dB
Latihan Soal.
1. Suatu bunyi yang panjang gelombangnya λ = 2,5 m merambat pada zat padat yang memiliki modulus Young E =1010 N/m2 dan massa jenisnya ρ = 1000 kg/m3. Tentukan :
a. cepat rambat bunyi
b. panjang gelombang bunyi
2. Sebuah sumber bunyi mempunyai daya 200π watt. Tentukanlah jarak suatu tempat dari sumber bunyi itu agar ntensitas bunyi tersebut !
3. Intensitas bunyi di suatu tempat yang berjarak 9 m dari sumber bunyi adalah 8.10-5 w/m2. Tentukanlah intensitas bunyi di suatu tempat yang berjarak 18 m dari sumber bunyi tersebut !
4. Intensitas bunyi di suatu tempat adalah 10-5 w/m2. Tentukanlah Taraf intensitas bunyi di tempat tersebut, jika diketahui intensitas ambang pendengaran I0= 10-12 w/m2 !
5. Taraf intensitas bunyi ssebuah mesin adalah 50 dB. Tentukanlah Taraf intensitas bunyi dari seratus buah mesin sejenis jika dibunyikan bersama-sama. Diketahui intensitas ambang pendengaran I0= 10-12 w/m2 !
sumber:
http://fisikasmk2kendal.blogspot.com/2008/03/getaran-gelombang-dan-bunyi.html
Rabu, 06 April 2011
Gen
Gen (dari bahasa Belanda: gen) adalah unit pewarisan sifat bagi organisme hidup. Bentuk fisiknya adalah urutan DNA yang menyandi suatu protein, polipeptida, atau seuntai RNA yang memiliki fungsi bagi organisme yang memilikinya. Batasan modern gen adalah suatu lokasi tertentu pada genom yang berhubungan dengan pewarisan sifat dan dapat dihubungkan dengan fungsi sebagai regulator (pengendali), sasaran transkripsi, atau peran-peran fungsional lainnya[1][2]. Penggunaan "gen" dalam percakapan sehari-hari (misalnya "gen cerdas" atau "gen warna rambut") sering kali dimaksudkan untuk alel: pilihan variasi yang tersedia oleh suatu gen. Meskipun ekspresi alel dapat serupa, orang lebih sering menggunakan istilah alel untuk ekspresi gen yang secara fenotipik berbeda. Gen diwariskan oleh satu individu kepada keturunannya melalui suatu proses reproduksi, bersama-sama dengan DNA yang membawanya. Dengan demikian, informasi yang menjaga keutuhan bentuk dan fungsi kehidupan suatu organisme dapat terjaga.
SejarahGregor Mendel telah berspekulasi tentang adanya suatu bahan yang terkait dengan suatu sifat atau karakter di dalam tubuh suatu individu yang dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ia menyebutnya 'faktor'. Oleh Hugo de Vries, konsep yang serupa ia namakan pangen (baca: "pan-gen") pada buku karangannya Intracellular Pangenesis (terbit 1889). Belum membaca tulisan Mendel, de Vries mendefinisikan pangen sebagai "partikel terkecil yang mewakili satu penciri terwariskan". Wilhelm Johannsen lalu menyingkatnya sebagai gen dua puluh tahun kemudian. Pada 1910, Thomas Hunt Morgan menunjukkan bahwa gen terletak di kromosom. Selanjutnya, terjadi 'perlombaan' seru untuk menemukan substansi yang merupakan gen. Banyak penghargaan Nobel yang kemudian jatuh pada peneliti yang terlibat dalam subjek ini.
Pada saat itu DNA sudah ditemukan dan diketahui hanya berada pada kromosom (1869), tetapi orang belum menyadari bahwa DNA terkait dengan gen. Melalui penelitian Oswald Avery terhadap bakteri Pneumococcus (1943), serta Alfred Hershey dan Martha Chase (publikasi 1953) dengan virus bakteriofag T2, barulah orang mengetahui bahwa DNA adalah bahan genetik.
Pada tahun 1940an, George Beadle dan Edward Tatum mengadakan percobaan dengan Neurospora crassa. Dari percobaan tersebut, Beadle dan Tatum dapat menarik hipotesis bahwa gen mengkode enzim, dan mereka menyimpulkan bahwa satu gen menyintesis satu enzim (one gene-one enzyme theory). Beberapa puluh tahun kemudian, ditemukan bahwa gen mengkode protein yang tidak hanya berfungsi sebagai enzim saja, dan beberapa protein tersusun dari dua atau lebih polipeptida. Dengan adanya penemuan-penemuan tersebut, pendapat Beadle dan Tatum, one gene-one enzyme theory, telah dimodifikasi menjadi teori satu gen-satu polipeptida (one gene-one polypetide theory).
Struktur genPada eukariota, gen terdiri dari:[3][4]
domain regulasi inisiasi transkripsi, yang terdiri antara lain dari:[5] deret GCCACACCC, ATGCAAAT, kotak GC, kotak CCAAT dan kotak TATA.
intron
ekson, merupakan area kodikasi protein yang dapat ditranskripsi secara overlapping atau nonoverlapping.[6] Sebagai contoh, pada kode dengan tiga deret nukleotida (kodon triplet) AUU GCU CAG, dapat secara dibaca nonoverlapping sebagai AUU GCU CAG atau dibaca secara overlapping sebagai AUU UUG UGC GCU CUC CAG. Walaupun pada sekitar tahun 1961, telah diketahui bahwa asam amino dikodikasi oleh kodon secara nonoverlapping, telah ditemukan protein berbeda hasil transkripsi dengan pergeseran overlapping kodon.[7]
domain regulasi akhir transkripsi
Ekspresi genArtikel utama untuk bagian ini adalah: Ekspresi genetik
Proses penyeleksian mRNA.Ekspresi gen adalah proses dimana kode-kode informasi yang ada pada gen diubah menjadi protein-protein yang beroperasi di dalam sel. Ekspresi gen terdiri dari dua tahap:
1.Transkripsi, proses pembuatan salinan RNA.
2.Translasi, proses sintesis polipeptida yang spesifik di dalam ribosom.
Proses transkripsi DNA menjadi mRNA dan translasi mRNA menjadi sebuah polipeptida disebut dogma sentral (central dogma). Dogma sentral berlaku pada prokariot dan eukariot. Namun, pada eukariot ada tahap tambahan yang terjadi di antara transkripsi dan translasi yang disebut tahap pre-mRNA. Tahap pre-mRNA adalah untuk menyeleksi mRNA yang akan dikirim keluar nukleus untuk ditranslasikan di ribosom. Ekson merupakan mRNA yang akan dikirim keluar nukleus untuk ditranslasikan, sedangkan intron merupakan mRNA yang akan tetap berada di dalam nukleus karena kemungkinan mRNA tersebut akan membentuk protein yang tidak fungsional (tidak berguna) jika ditranslasikan. Intron kemudian akan terurai kembali untuk membentuk rantai mRNA baru.
Ketahui pula bahwa beberapa kesalahan yang disebut mutasi dapat terjadi pada proses ekspresi gen ini.
sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Gen
Tissue Culture Methods
I. TYPES OF CELLS GROWN IN CULTURE
Tissue culture is often a generic term that refers to both organ culture and cell culture and the terms are often used interchangeably. Cell cultures are derived from either primary tissue explants or cell suspensions. Primary cell cultures typically will have a finite life span in culture whereas continuous cell lines are, by definition, abnormal and are often transformed cell lines.
II. WORK AREA AND EQUIPMENT
A. Laminar flow hoods. There are two types of laminar flow hoods, vertical and horizontal. The vertical hood, also known as a biology safety cabinet, is best for working with hazardous organisms since the aerosols that are generated in the hood are filtered out before they are released into the surrounding environment. Horizontal hoods are designed such that the air flows directly at the operator hence they are not useful for working with hazardous organisms but are the best protection for your cultures. Both types of hoods have continuous displacement of air that passes through a HEPA (high efficiency particle) filter that removes particulates from the air. In a vertical hood, the filtered air blows down from the top of the cabinet; in a horizontal hood, the filtered air blows out at the operator in a horizontal fashion. NOTE: these are not fume hoods and should not be used for volatile or explosive chemicals. They should also never be used for bacterial or fungal work. The hoods are equipped with a short-wave UV light that can be turned on for a few minutes to sterilize the surfaces of the hood, but be aware that only exposed surfaces will be accessible to the UV light. Do not put your hands or face near the hood when the UV light is on as the short wave light can cause skin and eye damage. The hoods should be turned on about 10-20 minutes before being used. Wipe down all surfaces with ethanol before and after each use. Keep the hood as free of clutter as possible because this will interfere with the laminar flow air pattern.
B. CO2 Incubators. The cells are grown in an atmosphere of 5-10% CO2 because the medium used is buffered with sodium bicarbonate/carbonic acid and the pH must be strictly maintained. Culture flasks should have loosened caps to allow for sufficient gas exchange. Cells should be left out of the incubator for as little time as possible and the incubator doors should not be opened for very long. The humidity must also be maintained for those cells growing in tissue culture dishes so a pan of water is kept filled at all times.
C. Microscopes. Inverted phase contrast microscopes are used for visualizing the cells. Microscopes should be kept covered and the lights turned down when not in use. Before using the microscope or whenever an objective is changed, check that the phase rings are aligned.
D. Preservation. Cells are stored in liquid nitrogen (see Section III- Preservation and storage).
E. Vessels. Anchorage dependent cells require a nontoxic, biologically inert, and optically transparent surface that will allow cells to attach and allow movement for growth. The most convenient vessels are specially-treated polystyrene plastic that are supplied sterile and are disposable. These include petri dishes, multi-well plates, microtiter plates, roller bottles, and screwcap flasks - T-25, T-75, T-150 (cm2 of surface area). Suspension cells are either shaken, stirred, or grown in vessels identical to those used for anchorage-dependent cells.
III. PRESERVATION AND STORAGE. Liquid N2 is used to preserve tissue culture cells, either in the liquid phase (-196°C) or in the vapor phase (-156°C). Freezing can be lethal to cells due to the effects of damage by ice crystals, alterations in the concentration of electrolytes, dehydration, and changes in pH. To minimize the effects of freezing, several precautions are taken. First, a cryoprotective agent which lowers the freezing point, such as glycerol or DMSO, is added. A typical freezing medium is 90% serum, 10% DMSO. In addition, it is best to use healthy cells that are growing in log phase and to replace the medium 24 hours before freezing. Also, the cells are slowly cooled from room temperature to -80°C to allow the water to move out of the cells before it freezes. The optimal rate of cooling is 1°-3°C per minute. Some labs have fancy freezing chambers to regulate the freezing at the optimal rate by periodically pulsing in liquid nitrogen. We use a low tech device called a Mr. Frosty (C#1562 -Nalgene, available from Sigma). The Mr. Frosty is filled with 200 ml of isopropanol at room temperature and the freezing vials containing the cells are placed in the container and the container is placed in the -80°C freezer. The effect of the isopropanol is to allow the tubes to come to the temperature of the freezer slowly, at about 1°C per minute. Once the container has reached -80°C (about 4 hours or, more conveniently, overnight) the vials are removed from the Mr. Frosty and immediately placed in the liquid nitrogen storage tank. Cells are stored at liquid nitrogen temperatures because the growth of ice crystals is retarded below -130°C. To maximize recovery of the cells when thawing, the cells are warmed very quickly by placing the tube directly from the liquid nitrogen container into a 37°C water bath with moderate shaking. As soon as the last ice crystal is melted, the cells are immediately diluted into prewarmed medium.
IV. MAINTENANCE
Cultures should be examined daily, observing the morphology, the color of the medium and the density of the cells. A tissue culture log should be maintained that is separate from your regular laboratory notebook. The log should contain: the name of the cell line, the medium components and any alterations to the standard medium, the dates on which the cells were split and/or fed, a calculation of the doubling time of the culture (this should be done at least once during the semester), and any observations relative to the morphology, etc.
A. Growth pattern. Cells will initially go through a quiescent or lag phase that depends on the cell type, the seeding density, the media components, and previous handling. The cells will then go into exponential growth where they have the highest metabolic activity. The cells will then enter into stationary phase where the number of cells is constant, this is characteristic of a confluent population (where all growth surfaces are covered).
B. Harvesting. Cells are harvested when the cells have reached a population density which suppresses growth. Ideally, cells are harvested when they are in a semi-confluent state and are still in log phase. Cells that are not passaged and are allowed to grow to a confluent state can sometime lag for a long period of time and some may never recover. It is also essential to keep your cells as happy as possible to maximize the efficiency of transformation. Most cells are passaged (or at least fed) three times a week.
1. Suspension culture. Suspension cultures are fed by dilution into fresh medium.
2. Adherent cultures. Adherent cultures that do not need to be divided can simply be fed by removing the old medium and replacing it with fresh medium.
When the cells become semi-confluent, several methods are used to remove the cells from the growing surface so that they can be diluted:
Mechanical - A rubber spatula can be used to physically remove the cells from the growth surface. This method is quick and easy but is also disruptive to the cells and may result in significant cell death. This method is best when harvesting many different samples of cells for preparing extracts, i.e., when viability is not important.
Proteolytic enzymes - Trypsin, collagenase, or pronase, usually in combination with EDTA, causes cells to detach from the growth surface. This method is fast and reliable but can damage the cell surface by digesting exposed cell surface proteins. The proteolysis reaction can be quickly terminated by the addition of complete medium containing serum
EDTA - EDTA alone can also be used to detach cells and seems to be gentler on the cells than trypsin. The standard procedure for detaching adherent cells is as follows:
1. Visually inspect daily
2. Release cells from monolayer surface
a. wash once with a buffer solution
b. treat with dissociating agent
c. observe cells under the microscope. Incubate until cells become rounded and loosen when flask is gently tapped with the side of the hand.
d. Transfer cells to a culture tube and dilute with medium containing serum.
e. Spin down cells, remove supernatant and replace with fresh medium.
f. Count the cells in a hemacytometer, and dilute as appropriate into fresh medium.
C. Media and growth requirements
1. Physiological parameters
A. temperature - 37C for cells from homeother
B. pH - 7.2-7.5 and osmolality of medium must be maintained
C. humidity is required
D. gas phase - bicarbonate conc. and CO2 tension in equilibrium
E. visible light - can have an adverse effect on cells; light induced production of toxic compounds can occur in some media; cells should be cultured in the dark and exposed to room light as little as possible;
2. Medium requirements: (often empirical)
A. Bulk ions - Na, K, Ca, Mg, Cl, P, Bicarb or CO2
B. Trace elements - iron, zinc, selenium
C. sugars - glucose is the most common
D. amino acids - 13 essential
E. vitamins - B, etc.
F. choline, inositol
G. serum - contains a large number of growth promoting activities such as buffering toxic nutrients by binding them, neutralizes trypsin and other proteases, has undefined effects on the interaction between cells and substrate, and contains peptide hormones or hormone-like growth factors that promote healthy growth.
H. antibiotics - although not required for cell growth, antibiotics are often used to control the growth of bacterial and fungal contaminants.
3. Feeding - 2-3 times/week.
4. Measurement of growth and viability. The viability of cells can be observed visually using an inverted phase contrast microscope. Live cells are phase bright; suspension cells are typically rounded and somewhat symmetrical; adherent cells will form projections when they attach to the growth surface. Viability can also be assessed using the vital dye, trypan blue, which is excluded by live cells but accumulates in dead cells. Cell numbers are determined using a hemocytometer.
V. SAFETY CONSIDERATIONS
Assume all cultures are hazardous since they may harbor latent viruses or other organisms that are uncharacterized. The following safety precautions should also be observed:
pipetting: use pipette aids to prevent ingestion and keep aerosols down to a minimum
no eating, drinking, or smoking
wash hands after handling cultures and before leaving the lab
decontaminate work surfaces with disinfectant (before and after)
autoclave all waste
use biological safety cabinet (laminar flow hood) when working with hazardous organisms. The cabinet protects worker by preventing airborne cells and viruses released during experimental activity from escaping the cabinet; there is an air barrier at the front opening and exhaust air is filtered with a HEPA filter make sure cabinet is not overloaded and leave exhaust grills in the front and the back clear (helps to maintain a uniform airflow)
use aseptic technique
dispose of all liquid waste after each experiment and treat with bleach
REFERENCES:
R. Ian Freshney, Culture of Animal cells: A manual of basic techniques, Wiley-Liss, 1987.
VI. TISSUE CULTURE PROCEDURES
Each student should maintain his own cells throughout the course of the experiment. These cells should be monitored daily for morphology and growth characteristics, fed every 2 to 3 days, and subcultured when necessary. A minimum of two 25 cm2 flasks should be carried for each cell line; these cells should be expanded as necessary for the transfection experiments. Each time the cells are subcultured, a viable cell count should be done, the subculture dilutions should be noted, and, after several passages, a doubling time determined. As soon as you have enough cells, several vials should be frozen away and stored in liquid N2. One vial from each freeze down should be thawed 1-2 weeks after freezing to check for viability. These frozen stocks will prove to be vital if any of your cultures become contaminated.
Procedures:1. Media preparation. Each student will be responsible for maintaining his own stock of cell culture media; the particular type of media, the sera type and concentration, and other supplements will depend on the cell line. Do not share media with you partner (or anyone else) because if a culture or a bottle of media gets contaminated, you have no back-up. Most of the media components will be purchased prepared and sterile. In general, all you need to do is sterily combine several sterile solutions. To test for sterility after adding all components, pipet several mls from each media bottle into a small sterile petri dish or culture tube and incubate at 37EC for several days. Use only media that has been sterility tested. For this reason, you must anticipate your culture needs in advance so you can prepare the reagents necessary. But, please try not to waste media. Anticipate your needs but don't make more than you need. Tissue culture reagents are very expensive; for example, bovine fetal calf serum cost ~ $200/500 ml. Some cell culture additives will be provided in a powdered form. These should be reconstituted to the appropriate concentration with double-distilled water (or medium, as appropriate) and filtered (in a sterile hood) through a 0-22 μm filter.
All media preparation and other cell culture work must be performed in a laminar flow hood. Before beginning your work, turn on blower for several minutes, wipe down all surfaces with 70% ethanol, and ethanol wash your clean hands. Use only sterile pipets, disposable test tubes and autoclaved pipet tips for cell culture. All culture vessels, test tubes, pipet tip boxes, stocks of sterile eppendorfs, etc. should be opened only in the laminar flow hood. If something is opened elsewhere in the lab by accident, you can probably assume its contaminated. If something does become contaminated, immediately discard the contaminated materials into the biohazard container and notify the instructor.
2. Growth and morphology. Visually inspect cells frequently. Cell culture is sometimes more an art than a science. Get to know what makes your cells happy. Frequent feeding is important for maintaining the pH balance of the medium and for eliminating waste products. Cells do not typically like to be too confluent so they should be subcultured when they are in a semi-confluent state. In general, mammalian cells should be handled gently. They should not be vortexed, vigorously pipetted or centrifuged at greater than 1500 g.
3. Cell feeding. Use prewarmed media and have cells out of the incubator for as little time as possible. Use 10-15 ml for T-25's, 25-35 ml for T-75's and 50-60 ml for T-150's. a. Suspension cultures. Feeding and subculturing suspension cultures are done simultaneously. About every 2-3 days, dilute the cells into fresh media. The dilution you use will depend on the density of the cells and how quickly they divide, which only you can determine. Typically 1:4 to 1:20 dilutions are appropriate for most cell lines. b. Adherent cells. About every 2-3 days, pour off old media from culture flasks and replace with fresh media. Subculture cells as described below before confluency is reached.
4. Subculturing adherent cells. When adherent cells become semi-confluent, subculture using 2 mM EDTA or trypsin/EDTA.
Trypsin-EDTA :
a. Remove medium from culture dish and wash cells in a balanced salt solution without Ca++ or Mg++. Remove the wash solution.
b. Add enough trypsin-EDTA solution to cover the bottom of the culture vessel and then pour off the excess.
c. Place culture in the 37°C incubator for 2 minutes.
d. Monitor cells under microscope. Cells are beginning to detach when they appear rounded.
e. As soon as cells are in suspension, immediately add culture medium containing serum. Wash cells once with serum containing medium and dilute as appropriate (generally 4-20 fold).
EDTA alone:
a. Prepare a 2 mM EDTA solution in a balanced salt solution (i.e., PBS without Ca++ or Mg++).
b. Remove medium from culture vessel by aspiration and wash the monolayer to remove all traces of serum. Remove salt solution by aspiration.
c. Dispense enough EDTA solution into culture vessels to completely cover the monolayer of cells.
d. The coated cells are allowed to incubate until cells detach from the surface. Progress can be checked by examination with an inverted microscope. Cells can be gently nudged by banging the side of the flask against the palm of the hand.
e. Dilute cells with fresh medium and transfer to a sterile centrifuge tube.
f. Spin cells down, remove supernatant, and resuspend in culture medium (or freezing medium if cells are to be frozen). Dilute as appropriate into culture flasks.
5. Thawing frozen cells.
a. Remove cells from frozen storage and quickly thaw in a 37°C waterbath by gently agitating vial.
b. As soon as the ice crystals melt, pipet gently into a culture flask containing prewarmed growth medium.
c. Log out cells in the "Liquid Nitrogen Freezer Log" Book.
6. Freezing cells.
a. Harvest cells as usual and wash once with complete medium.
b. Resuspend cells in complete medium and determine cell count/viability.
c. Centrifuge and resuspend in ice-cold freezing medium: 90% calf serum/10% DMSO, at 106 - 107 cells/ml. Keep cells on ice.
d. Transfer 1 ml aliquots to freezer vials on ice.
e. Place in a Mr. Frosty container that is at room temperature and that has sufficient isopropanol.
f. Place the Mr. Frosty in the -70°C freezer overnight. Note: Cells should be exposed to freezing medium for as little time as possible prior to freezing
g Next day, transfer to liquid nitrogen (DON'T FORGET) and log in the "Liquid Nitrogen Freezer Log" Book.
7. Viable cell counts. USING A HEMOCYTOMETER TO DETERMINE TOTAL CELL COUNTS AND VIABLE CELL NUMBERS (Reference: Sigma catalogue)Trypan blue is one of several stains recommended for use in dye exclusion procedures for viable cell counting. This method is based on the principle that live cells do not take up certain dyes, whereas dead cells do.
1. Prepare a cell suspension, either directly from a cell culture or from a concentrated or diluted suspension (depending on the cell density) and combine 20 μl of cells with 20 μl of trypan blue suspension (0.4%). Mix thoroughly and allow to stand for 5-15 minutes.
2. With the cover slip in place, transfer a small amount of trypan blue-cell suspension to both chambers of the hemocytometer by carefully touching the edge of the cover slip with the pipette tip and allowing each chamber to fill by capillary action. Do not overfill or underfill the chambers.3. Starting with 1 chamber of the hemocytometer, count all the cells in the 1 mm center square and four 1 mm corner square. Keep a separate count of viable and non-viable cells.4. If there are too many or too few cells to count, repeat the procedure either concentrating or diluting the original suspension as appropriate.5. The circle indicates the approximate area covered at 100X microscope magnification (10X ocular and 10X objective). Include cells on top and left touching middle line. Do not count cells touching middle line at bottom and right. Count 4 corner squares and middle square in both chambers and calculate the average.6. Each large square of the hemocytometer, with cover-slip in place, represents a total volume of 0.1 mm3 or 10-4 cm3. Since 1 cm3 is equivalent to approximately 1 ml, the total number of cells per ml will be determined using the following calculations:Cells/ml = average cell count per square x dilution factor x 104;
Total cells = cells/ml x the original volume of fluid from which the cell sample was removed; % Cell viability = total viable cells (unstained)/total cells x 100.
referensi:
http://userpages.umbc.edu/~jwolf/method5.htm
Tissue culture is often a generic term that refers to both organ culture and cell culture and the terms are often used interchangeably. Cell cultures are derived from either primary tissue explants or cell suspensions. Primary cell cultures typically will have a finite life span in culture whereas continuous cell lines are, by definition, abnormal and are often transformed cell lines.
II. WORK AREA AND EQUIPMENT
A. Laminar flow hoods. There are two types of laminar flow hoods, vertical and horizontal. The vertical hood, also known as a biology safety cabinet, is best for working with hazardous organisms since the aerosols that are generated in the hood are filtered out before they are released into the surrounding environment. Horizontal hoods are designed such that the air flows directly at the operator hence they are not useful for working with hazardous organisms but are the best protection for your cultures. Both types of hoods have continuous displacement of air that passes through a HEPA (high efficiency particle) filter that removes particulates from the air. In a vertical hood, the filtered air blows down from the top of the cabinet; in a horizontal hood, the filtered air blows out at the operator in a horizontal fashion. NOTE: these are not fume hoods and should not be used for volatile or explosive chemicals. They should also never be used for bacterial or fungal work. The hoods are equipped with a short-wave UV light that can be turned on for a few minutes to sterilize the surfaces of the hood, but be aware that only exposed surfaces will be accessible to the UV light. Do not put your hands or face near the hood when the UV light is on as the short wave light can cause skin and eye damage. The hoods should be turned on about 10-20 minutes before being used. Wipe down all surfaces with ethanol before and after each use. Keep the hood as free of clutter as possible because this will interfere with the laminar flow air pattern.
B. CO2 Incubators. The cells are grown in an atmosphere of 5-10% CO2 because the medium used is buffered with sodium bicarbonate/carbonic acid and the pH must be strictly maintained. Culture flasks should have loosened caps to allow for sufficient gas exchange. Cells should be left out of the incubator for as little time as possible and the incubator doors should not be opened for very long. The humidity must also be maintained for those cells growing in tissue culture dishes so a pan of water is kept filled at all times.
C. Microscopes. Inverted phase contrast microscopes are used for visualizing the cells. Microscopes should be kept covered and the lights turned down when not in use. Before using the microscope or whenever an objective is changed, check that the phase rings are aligned.
D. Preservation. Cells are stored in liquid nitrogen (see Section III- Preservation and storage).
E. Vessels. Anchorage dependent cells require a nontoxic, biologically inert, and optically transparent surface that will allow cells to attach and allow movement for growth. The most convenient vessels are specially-treated polystyrene plastic that are supplied sterile and are disposable. These include petri dishes, multi-well plates, microtiter plates, roller bottles, and screwcap flasks - T-25, T-75, T-150 (cm2 of surface area). Suspension cells are either shaken, stirred, or grown in vessels identical to those used for anchorage-dependent cells.
III. PRESERVATION AND STORAGE. Liquid N2 is used to preserve tissue culture cells, either in the liquid phase (-196°C) or in the vapor phase (-156°C). Freezing can be lethal to cells due to the effects of damage by ice crystals, alterations in the concentration of electrolytes, dehydration, and changes in pH. To minimize the effects of freezing, several precautions are taken. First, a cryoprotective agent which lowers the freezing point, such as glycerol or DMSO, is added. A typical freezing medium is 90% serum, 10% DMSO. In addition, it is best to use healthy cells that are growing in log phase and to replace the medium 24 hours before freezing. Also, the cells are slowly cooled from room temperature to -80°C to allow the water to move out of the cells before it freezes. The optimal rate of cooling is 1°-3°C per minute. Some labs have fancy freezing chambers to regulate the freezing at the optimal rate by periodically pulsing in liquid nitrogen. We use a low tech device called a Mr. Frosty (C#1562 -Nalgene, available from Sigma). The Mr. Frosty is filled with 200 ml of isopropanol at room temperature and the freezing vials containing the cells are placed in the container and the container is placed in the -80°C freezer. The effect of the isopropanol is to allow the tubes to come to the temperature of the freezer slowly, at about 1°C per minute. Once the container has reached -80°C (about 4 hours or, more conveniently, overnight) the vials are removed from the Mr. Frosty and immediately placed in the liquid nitrogen storage tank. Cells are stored at liquid nitrogen temperatures because the growth of ice crystals is retarded below -130°C. To maximize recovery of the cells when thawing, the cells are warmed very quickly by placing the tube directly from the liquid nitrogen container into a 37°C water bath with moderate shaking. As soon as the last ice crystal is melted, the cells are immediately diluted into prewarmed medium.
IV. MAINTENANCE
Cultures should be examined daily, observing the morphology, the color of the medium and the density of the cells. A tissue culture log should be maintained that is separate from your regular laboratory notebook. The log should contain: the name of the cell line, the medium components and any alterations to the standard medium, the dates on which the cells were split and/or fed, a calculation of the doubling time of the culture (this should be done at least once during the semester), and any observations relative to the morphology, etc.
A. Growth pattern. Cells will initially go through a quiescent or lag phase that depends on the cell type, the seeding density, the media components, and previous handling. The cells will then go into exponential growth where they have the highest metabolic activity. The cells will then enter into stationary phase where the number of cells is constant, this is characteristic of a confluent population (where all growth surfaces are covered).
B. Harvesting. Cells are harvested when the cells have reached a population density which suppresses growth. Ideally, cells are harvested when they are in a semi-confluent state and are still in log phase. Cells that are not passaged and are allowed to grow to a confluent state can sometime lag for a long period of time and some may never recover. It is also essential to keep your cells as happy as possible to maximize the efficiency of transformation. Most cells are passaged (or at least fed) three times a week.
1. Suspension culture. Suspension cultures are fed by dilution into fresh medium.
2. Adherent cultures. Adherent cultures that do not need to be divided can simply be fed by removing the old medium and replacing it with fresh medium.
When the cells become semi-confluent, several methods are used to remove the cells from the growing surface so that they can be diluted:
Mechanical - A rubber spatula can be used to physically remove the cells from the growth surface. This method is quick and easy but is also disruptive to the cells and may result in significant cell death. This method is best when harvesting many different samples of cells for preparing extracts, i.e., when viability is not important.
Proteolytic enzymes - Trypsin, collagenase, or pronase, usually in combination with EDTA, causes cells to detach from the growth surface. This method is fast and reliable but can damage the cell surface by digesting exposed cell surface proteins. The proteolysis reaction can be quickly terminated by the addition of complete medium containing serum
EDTA - EDTA alone can also be used to detach cells and seems to be gentler on the cells than trypsin. The standard procedure for detaching adherent cells is as follows:
1. Visually inspect daily
2. Release cells from monolayer surface
a. wash once with a buffer solution
b. treat with dissociating agent
c. observe cells under the microscope. Incubate until cells become rounded and loosen when flask is gently tapped with the side of the hand.
d. Transfer cells to a culture tube and dilute with medium containing serum.
e. Spin down cells, remove supernatant and replace with fresh medium.
f. Count the cells in a hemacytometer, and dilute as appropriate into fresh medium.
C. Media and growth requirements
1. Physiological parameters
A. temperature - 37C for cells from homeother
B. pH - 7.2-7.5 and osmolality of medium must be maintained
C. humidity is required
D. gas phase - bicarbonate conc. and CO2 tension in equilibrium
E. visible light - can have an adverse effect on cells; light induced production of toxic compounds can occur in some media; cells should be cultured in the dark and exposed to room light as little as possible;
2. Medium requirements: (often empirical)
A. Bulk ions - Na, K, Ca, Mg, Cl, P, Bicarb or CO2
B. Trace elements - iron, zinc, selenium
C. sugars - glucose is the most common
D. amino acids - 13 essential
E. vitamins - B, etc.
F. choline, inositol
G. serum - contains a large number of growth promoting activities such as buffering toxic nutrients by binding them, neutralizes trypsin and other proteases, has undefined effects on the interaction between cells and substrate, and contains peptide hormones or hormone-like growth factors that promote healthy growth.
H. antibiotics - although not required for cell growth, antibiotics are often used to control the growth of bacterial and fungal contaminants.
3. Feeding - 2-3 times/week.
4. Measurement of growth and viability. The viability of cells can be observed visually using an inverted phase contrast microscope. Live cells are phase bright; suspension cells are typically rounded and somewhat symmetrical; adherent cells will form projections when they attach to the growth surface. Viability can also be assessed using the vital dye, trypan blue, which is excluded by live cells but accumulates in dead cells. Cell numbers are determined using a hemocytometer.
V. SAFETY CONSIDERATIONS
Assume all cultures are hazardous since they may harbor latent viruses or other organisms that are uncharacterized. The following safety precautions should also be observed:
pipetting: use pipette aids to prevent ingestion and keep aerosols down to a minimum
no eating, drinking, or smoking
wash hands after handling cultures and before leaving the lab
decontaminate work surfaces with disinfectant (before and after)
autoclave all waste
use biological safety cabinet (laminar flow hood) when working with hazardous organisms. The cabinet protects worker by preventing airborne cells and viruses released during experimental activity from escaping the cabinet; there is an air barrier at the front opening and exhaust air is filtered with a HEPA filter make sure cabinet is not overloaded and leave exhaust grills in the front and the back clear (helps to maintain a uniform airflow)
use aseptic technique
dispose of all liquid waste after each experiment and treat with bleach
REFERENCES:
R. Ian Freshney, Culture of Animal cells: A manual of basic techniques, Wiley-Liss, 1987.
VI. TISSUE CULTURE PROCEDURES
Each student should maintain his own cells throughout the course of the experiment. These cells should be monitored daily for morphology and growth characteristics, fed every 2 to 3 days, and subcultured when necessary. A minimum of two 25 cm2 flasks should be carried for each cell line; these cells should be expanded as necessary for the transfection experiments. Each time the cells are subcultured, a viable cell count should be done, the subculture dilutions should be noted, and, after several passages, a doubling time determined. As soon as you have enough cells, several vials should be frozen away and stored in liquid N2. One vial from each freeze down should be thawed 1-2 weeks after freezing to check for viability. These frozen stocks will prove to be vital if any of your cultures become contaminated.
Procedures:1. Media preparation. Each student will be responsible for maintaining his own stock of cell culture media; the particular type of media, the sera type and concentration, and other supplements will depend on the cell line. Do not share media with you partner (or anyone else) because if a culture or a bottle of media gets contaminated, you have no back-up. Most of the media components will be purchased prepared and sterile. In general, all you need to do is sterily combine several sterile solutions. To test for sterility after adding all components, pipet several mls from each media bottle into a small sterile petri dish or culture tube and incubate at 37EC for several days. Use only media that has been sterility tested. For this reason, you must anticipate your culture needs in advance so you can prepare the reagents necessary. But, please try not to waste media. Anticipate your needs but don't make more than you need. Tissue culture reagents are very expensive; for example, bovine fetal calf serum cost ~ $200/500 ml. Some cell culture additives will be provided in a powdered form. These should be reconstituted to the appropriate concentration with double-distilled water (or medium, as appropriate) and filtered (in a sterile hood) through a 0-22 μm filter.
All media preparation and other cell culture work must be performed in a laminar flow hood. Before beginning your work, turn on blower for several minutes, wipe down all surfaces with 70% ethanol, and ethanol wash your clean hands. Use only sterile pipets, disposable test tubes and autoclaved pipet tips for cell culture. All culture vessels, test tubes, pipet tip boxes, stocks of sterile eppendorfs, etc. should be opened only in the laminar flow hood. If something is opened elsewhere in the lab by accident, you can probably assume its contaminated. If something does become contaminated, immediately discard the contaminated materials into the biohazard container and notify the instructor.
2. Growth and morphology. Visually inspect cells frequently. Cell culture is sometimes more an art than a science. Get to know what makes your cells happy. Frequent feeding is important for maintaining the pH balance of the medium and for eliminating waste products. Cells do not typically like to be too confluent so they should be subcultured when they are in a semi-confluent state. In general, mammalian cells should be handled gently. They should not be vortexed, vigorously pipetted or centrifuged at greater than 1500 g.
3. Cell feeding. Use prewarmed media and have cells out of the incubator for as little time as possible. Use 10-15 ml for T-25's, 25-35 ml for T-75's and 50-60 ml for T-150's. a. Suspension cultures. Feeding and subculturing suspension cultures are done simultaneously. About every 2-3 days, dilute the cells into fresh media. The dilution you use will depend on the density of the cells and how quickly they divide, which only you can determine. Typically 1:4 to 1:20 dilutions are appropriate for most cell lines. b. Adherent cells. About every 2-3 days, pour off old media from culture flasks and replace with fresh media. Subculture cells as described below before confluency is reached.
4. Subculturing adherent cells. When adherent cells become semi-confluent, subculture using 2 mM EDTA or trypsin/EDTA.
Trypsin-EDTA :
a. Remove medium from culture dish and wash cells in a balanced salt solution without Ca++ or Mg++. Remove the wash solution.
b. Add enough trypsin-EDTA solution to cover the bottom of the culture vessel and then pour off the excess.
c. Place culture in the 37°C incubator for 2 minutes.
d. Monitor cells under microscope. Cells are beginning to detach when they appear rounded.
e. As soon as cells are in suspension, immediately add culture medium containing serum. Wash cells once with serum containing medium and dilute as appropriate (generally 4-20 fold).
EDTA alone:
a. Prepare a 2 mM EDTA solution in a balanced salt solution (i.e., PBS without Ca++ or Mg++).
b. Remove medium from culture vessel by aspiration and wash the monolayer to remove all traces of serum. Remove salt solution by aspiration.
c. Dispense enough EDTA solution into culture vessels to completely cover the monolayer of cells.
d. The coated cells are allowed to incubate until cells detach from the surface. Progress can be checked by examination with an inverted microscope. Cells can be gently nudged by banging the side of the flask against the palm of the hand.
e. Dilute cells with fresh medium and transfer to a sterile centrifuge tube.
f. Spin cells down, remove supernatant, and resuspend in culture medium (or freezing medium if cells are to be frozen). Dilute as appropriate into culture flasks.
5. Thawing frozen cells.
a. Remove cells from frozen storage and quickly thaw in a 37°C waterbath by gently agitating vial.
b. As soon as the ice crystals melt, pipet gently into a culture flask containing prewarmed growth medium.
c. Log out cells in the "Liquid Nitrogen Freezer Log" Book.
6. Freezing cells.
a. Harvest cells as usual and wash once with complete medium.
b. Resuspend cells in complete medium and determine cell count/viability.
c. Centrifuge and resuspend in ice-cold freezing medium: 90% calf serum/10% DMSO, at 106 - 107 cells/ml. Keep cells on ice.
d. Transfer 1 ml aliquots to freezer vials on ice.
e. Place in a Mr. Frosty container that is at room temperature and that has sufficient isopropanol.
f. Place the Mr. Frosty in the -70°C freezer overnight. Note: Cells should be exposed to freezing medium for as little time as possible prior to freezing
g Next day, transfer to liquid nitrogen (DON'T FORGET) and log in the "Liquid Nitrogen Freezer Log" Book.
7. Viable cell counts. USING A HEMOCYTOMETER TO DETERMINE TOTAL CELL COUNTS AND VIABLE CELL NUMBERS (Reference: Sigma catalogue)Trypan blue is one of several stains recommended for use in dye exclusion procedures for viable cell counting. This method is based on the principle that live cells do not take up certain dyes, whereas dead cells do.
1. Prepare a cell suspension, either directly from a cell culture or from a concentrated or diluted suspension (depending on the cell density) and combine 20 μl of cells with 20 μl of trypan blue suspension (0.4%). Mix thoroughly and allow to stand for 5-15 minutes.
2. With the cover slip in place, transfer a small amount of trypan blue-cell suspension to both chambers of the hemocytometer by carefully touching the edge of the cover slip with the pipette tip and allowing each chamber to fill by capillary action. Do not overfill or underfill the chambers.3. Starting with 1 chamber of the hemocytometer, count all the cells in the 1 mm center square and four 1 mm corner square. Keep a separate count of viable and non-viable cells.4. If there are too many or too few cells to count, repeat the procedure either concentrating or diluting the original suspension as appropriate.5. The circle indicates the approximate area covered at 100X microscope magnification (10X ocular and 10X objective). Include cells on top and left touching middle line. Do not count cells touching middle line at bottom and right. Count 4 corner squares and middle square in both chambers and calculate the average.6. Each large square of the hemocytometer, with cover-slip in place, represents a total volume of 0.1 mm3 or 10-4 cm3. Since 1 cm3 is equivalent to approximately 1 ml, the total number of cells per ml will be determined using the following calculations:Cells/ml = average cell count per square x dilution factor x 104;
Total cells = cells/ml x the original volume of fluid from which the cell sample was removed; % Cell viability = total viable cells (unstained)/total cells x 100.
referensi:
http://userpages.umbc.edu/~jwolf/method5.htm
Teknik kultur jaringan
Teknik kultur jaringan – Kultur jaringan merupakan salah satu cara perbanyakan tanaman secara vegetatif. Kultur jaringan merupakan teknik perbanyakan tanaman dengan cara mengisolasi bagian tanaman seperti daun, mata tunas, serta menumbuhkan bagian-bagian tersebut dalam media buatan secara aseptik yang kaya nutrisi dan zat pengatur tumbuh dalam wadah tertutup yang tembus cahaya sehingga bagian tanaman dapat memperbanyak diri dan bergenerasi menjadi tanaman lengkap. Prinsip utama dari teknik kultur jaringan adalah perbayakan tanaman dengan menggunakan bagian vegetatif tanaman menggunakan media buatan yang dilakukan di tempat steril.
Metode kultur jaringan dikembangkan untuk membantu memperbanyak tanaman, khususnya untuk tanaman yang sulit dikembangbiakkan secara generatif. Bibit yang dihasilkan dari kultur jaringan mempunyai beberapa keunggulan, antara lain: mempunyai sifat yang identik dengan induknya, dapat diperbanyak dalam jumlah yang besar sehingga tidak terlalu membutuhkan tempat yang luas, mampu menghasilkan bibit dengan jumlah besar dalam waktu yang singkat, kesehatan dan mutu bibit lebih terjamin, kecepatan tumbuh bibit lebih cepat dibandingkan dengan perbanyakan konvensional.
Tahapan yang dilakukan dalam perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan adalah:
1) Pembuatan media
2) Inisiasi
3) Sterilisasi
4) Multiplikasi
5) Pengakaran
6) Aklimatisasi
Media merupakan faktor penentu dalam perbanyakan dengan kultur jaringan. Komposisi media yang digunakan tergantung dengan jenis tanaman yang akan diperbanyak. Media yang digunakan biasanya terdiri dari garam mineral, vitamin, dan hormon. Selain itu, diperlukan juga bahan tambahan seperti agar, gula, dan lain-lain. Zat pengatur tumbuh (hormon) yang ditambahkan juga bervariasi, baik jenisnya maupun jumlahnya, tergantung dengan tujuan dari kultur jaringan yang dilakukan. Media yang sudah jadi ditempatkan pada tabung reaksi atau botol-botol kaca. Media yang digunakan juga harus disterilkan dengan cara memanaskannya dengan autoklaf.
Inisiasi adalah pengambilan eksplan dari bagian tanaman yang akan dikulturkan. Bagian tanaman yang sering digunakan untuk kegiatan kultur jaringan adalah tunas.
Sterilisasi adalah bahwa segala kegiatan dalam kultur jaringan harus dilakukan di tempat yang steril, yaitu di laminar flow dan menggunakan alat-alat yang juga steril. Sterilisasi juga dilakukan terhadap peralatan, yaitu menggunakan etanol yang disemprotkan secara merata pada peralatan yang digunakan. Teknisi yang melakukan kultur jaringan juga harus steril.
Multiplikasi adalah kegiatan memperbanyak calon tanaman dengan menanam eksplan pada media. Kegiatan ini dilakukan di laminar flow untuk menghindari adanya kontaminasi yang menyebabkan gagalnya pertumbuhan eksplan. Tabung reaksi yang telah ditanami ekplan diletakkan pada rak-rak dan ditempatkan di tempat yang steril dengan suhu kamar.
Pengakaran adalah fase dimana eksplan akan menunjukkan adanya pertumbuhan akar yang menandai bahwa proses kultur jaringan yang dilakukan mulai berjalan dengan baik. Pengamatan dilakukan setiap hari untuk melihat pertumbuhan dan perkembangan akar serta untuk melihat adanya kontaminasi oleh bakteri ataupun jamur. Eksplan yang terkontaminasi akan menunjukkan gejala seperti berwarna putih atau biru (disebabkan jamur) atau busuk (disebabkan bakteri).
Aklimatisasi adalah kegiatan memindahkan eksplan keluar dari ruangan aseptic ke bedeng. Pemindahan dilakukan secara hati-hati dan bertahap, yaitu dengan memberikan sungkup. Sungkup digunakan untuk melindungi bibit dari udara luar dan serangan hama penyakit karena bibit hasil kultur jaringan sangat rentan terhadap serangan hama penyakit dan udara luar. Setelah bibit mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya maka secara bertahap sungkup dilepaskan dan pemeliharaan bibit dilakukan dengan cara yang sama dengan pemeliharaan bibit generatif.
Keunggulan inilah yang menarik bagi produsen bibit untuk mulai mengembangkan usaha kultur jaringan ini. Saat ini sudah terdapat beberapa tanaman kehutanan yang dikembangbiakkan dengan teknik kultur jaringan, antara lain adalah: jati, sengon, akasia, dll.
Bibit hasil kultur jaringan yang ditanam di beberapa areal menunjukkan pertumbuhan yang baik, bahkan jati hasil kultur jaringan yang sering disebut dengan jati emas dapat dipanen dalam jangka waktu yang relatif lebih pendek dibandingkan dengan tanaman jati yang berasal dari benih generatif, terlepas dari kualitas kayunya yang belum teruji di Indonesia. Hal ini sangat menguntungkan pengusaha karena akan memperoleh hasil yang lebih cepat. Selain itu, dengan adanya pertumbuhan tanaman yang lebih cepat maka lahan-lahan yang kosong dapat c
KEUNTUNGAN PEMANFAATAN
KULTUR JARINGAN
š Pengadaan bibit tidak tergantung musim
š Bibit dapat diproduksi dalam jumlah banyak
dengan waktu yang relatif lebih cepat (dari
satu mata tunas yang sudah respon dalam 1
tahun dapat dihasilkan minimal 10.000
planlet/bibit)
š Bibit yang dihasilkan seragam
š Bibit yang dihasilkan bebas penyakit (meng
gunakan organ tertentu)
š Biaya pengangkutan bibit relatif lebih murah
dan mudah
š Dalam proses pembibitan bebas dari gang
guan hama, penyakit, dan deraan lingkungan
lainnya
KULTUR jaringan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
membuat bagian tanaman (akar, tunas, jaringan tumbuh tanaman) tumbuh
menjadi tanaman utuh (sempurna) dikondisi invitro (didalam gelas).
Keuntungan dari kultur jaringan lebih hemat tempat, hemat waktu, dan
tanaman yang diperbanyak dengan kultur jaringan mempunyai sifat sama
atau seragam dengan induknya. Contoh tanaman yang sudah lazim
diperbanyak secara kultur jaringan adalah tanaman anggrek.
Bagian 2
Persyaratan Lokasi
Laboratorium kultur jaringan hendaknya jauh dari sumber polusi, dekat dengan sumber tenaga listrik dan air. Untuk menghemat tenaga listrik, ada baiknya bila laboratorium kultur jaringan ditempatkan di daerah tinggi, agar suhu ruangan tetap rendah.
Kapasitas Labotarium
Ukuran laboratorium tergantung pada jumlah bibit yang akan diproduksi. Untuk ukuran laboratorium sekitar 250 m2, bibit yang dapat diproduksi tiap tahun sekitar 400–500.000 planlet/bibit, yang dapat memenuhi pertanaman seluas 500–800 ha.
Dalam suatu laboratorium minimal terdapat 5 ruangan terpisah, yaitu gudang (ruang) untuk penyimpanan bahan, ruang pembuatan media, ruang tanam, ruang inkubasi (untuk pertunasan dan pembentukan planlet/bibit tanaman) dan rumah kaca.
Peralatan dan Bahan Kimia
Untuk memproduksi bibit melalui kultur jaringan peralatan minimal yang perlu disediakan adalah: laminar air flow, pinset, pisau, rak kultur, AC, hot plate + stirrer, pH meter, oven, dan kulkas serta bahan kimia (garam makro + mikro, vitamin, zat pengatur tumbuh, asam amino, alkohol, clorox).
Proses Produksi
Proses perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan terdiri atas seleksi pohon induk (sumber eksplan), sterilisasi eksplan, inisiasi tunas, multiplikasi, perakaran, dan aklimatisasi seperti terlihat pada diagram.
Sumber eksplan. Eksplan berupa mata tunas, diambil dari pohon induk yang fisiknya sehat. Tunas tersebut selanjutnya disterilkan dengan alkohol 70%, HgCl2 0,2%, dan Clorox 30%.
Inisiasi tunas. Eksplan yang telah disterilkan di-kulturkan dalam media kultur (MS + BAP). Setelah terbentuk tunas, tunas tersebut disubkultur dalam media multiplikasi (MS + BAP) dan beberapa komponen organik lainnya.
Multiplikasi. Multiplikasi dilakukan secara berulang sampai diperoleh jumlah tanaman yang dikehendaki, sesuai dengan kapasitas laborato-rium. Setiap siklus multiplikasi berlangsung selama 2–3 bulan. Untuk biakan (tunas) yang telah responsif stater cultur, dalam periode tersebut dari 1 tunas dapat dihasilkan 10-20 tunas baru. Setelah tunas mencapai jumlah yang diinginkan, biakan dipindahkan (dikulturkan) pada media perakaran.
Perakaran. Untuk perakaran digunakan media MS + NAA. Proses perakaran pada umumnya berlangsung selama 1 bulan. Planlet (tunas yang telah berakar) diaklimatisasikan sampai bibit cukup kuat untuk ditanam di lapang.
Aklimatisasi. Dapat dilakukan di rumah kaca, rumah kasa atau pesemaian, yang kondisinya (terutama kelembaban) dapat dikendalikan. Planlet dapat ditanam dalam dua cara. Pertama, planlet ditanam dalam polibag diameter 10 cm yang berisi media (tanah + pupuk kandang) yang telah disterilkan. Planlet (dalam polibag) dipelihara di rumah kaca atau rumah kasa. Kedua, bibit ditaruh di atas bedengan yang dinaungi dengan plastik. Lebar pesemaian 1-1,2 m, panjangnya tergantung keadaan tempat. Dua sampai tiga minggu sebelum tanam, bedengan dipupuk dengan pupuk kandang (4 kg/m2) dan disterilkan dengan formalin 4%. Planlet ditanam dengan jarak 20 cm x 20 cm. Aklimatisasi berlangsung selama 2-3 bulan. Aklimatisasi cara pertama dapat dilakukan bila lokasi pertanaman letaknya jauh dari pesemaian dan cara kedua dilakukan bila pesemaian berada di sekitar areal pertanaman.
Keuntungan Pemanfaatan Kultur Jaringan
• Pengadaan bibit tidak tergantung musim
• Bibit dapat diproduksi dalam jumlah banyak dengan waktu yang relatif lebih cepat (dari satu mata tunas yang sudah respon dalam 1 tahun dapat dihasilkan minimal 10.000 planlet/bibit)
• Bibit yang dihasilkan seragam
• Bibit yang dihasilkan bebas penyakit (menggunakan organ tertentu)
• Biaya pengangkutan bibit relatif lebih murah dan mudah
• Dalam proses pembibitan bebas dari gangguan hama, penyakit, dan deraan lingkungan lainnya
Bagian 3
Perkembangan kultur jaringan di Indonesia terasa sangat lambat, bahkan hampir dikatakan jalan di tempat jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya, tidaklah heran jika impor bibit anggrek dalam bentuk ‘flask’ sempat membanjiri nursery-nursery anggrek di negara kita. Selain kesenjangan teknologi di lini akademisi, lembaga penelitian, publik dan pecinta anggrek, salah satu penyebab teknologi ini menjadi sangat lambat perkembangannya adalah karena adanya persepsi bahwa diperlukan investasi yang ’sangat mahal’ untuk membangun sebuah lab kultur jaringan, dan hanya cocok atau ‘feasible’ untuk perusahaan.
Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa, salah satunya adalah anggrek, diperkirakan sekitar 5000 jenis anggrek spesies tersebar di hutan wilayah Indonesia. Potensi ini sangat berharga bagi pengembang dan pecinta anggrek di Indonesia, khususnya potensi genetis untuk menghasilkan anggrek silangan yang memiliki nilai komersial tinggi. Potensi tersebut akan menjadi tidak berarti manakala penebangan hutan dan eksploitasi besar-besaran terjadi hutan kita, belum lagi pencurian terang-terangan ataupun “terselubung” dengan dalih kerjasama dan sumbangan penelitian baik oleh masyarakat kita maupun orang asing.
Sementara itu hanya sebagian kecil pihak yang mampu melakukan pengembangan dan pemanfaatan anggrek spesies, khususnya yang berkaitan dengan teknologi kultur jaringan. Tidak dipungkiri bahwa metode terbaik hingga saat ini dalam pelestarian dan perbanyakan anggrek adalah dengan kultur jaringan, karena melalui kuljar banyak hal yang bisa dilakukan dibandingkan dengan metode konvensional.
Secara prinsip, lab kultur jaringan dapat disederhanakan dengan melakukan modifikasi peralatan dan bahan yang digunakan, sehingga sangat dimungkinkan kultur jaringan seperti ‘home industri’. Hal ini dapat dilihat pada kelompok petani ‘pengkultur biji anggrek’ di Malang yang telah sedemikian banyak.
Beberapa gambaran dan potensi yang bisa dimunculkan dalam kultur jaringan diantaranya adalah :
* Kultur meristem, dapat menghasilkan anggrek yang bebas virus,sehingga sangat tepat digunakan pada tanaman anggrek spesies langka yang telah terinfeksi oleh hama penyakit, termasuk virus.
* Kultur anther, bisa menghasilkan anggrek dengan genetik haploid (1n), sehingga bentuknya lebih kecil jika dibandingkan dengan anggrek diploid (2n). Dengan demikian sangat dimungkinkan untuk menghasilkan tanaman anggrek mini, selain itu dengan kultur anther berpeluang memunculkan sifat resesif unggul yang pada kondisi normal tidak akan muncul karena tertutup oleh yang dominan
* Dengan tekhnik poliploid dimungkinkan untuk mendapatkan tanaman anggrek ‘giant’ atau besar. Tekhnik ini salah satunya dengan memberikan induksi bahan kimia yang bersifat menghambat (cholchicine)
* Kloning, tekhnik ini memungkinkan untuk dihasilkan anggrek dengan jumlah banyak dan seragam, khususnya untuk jenis anggrek bunga potong. Sebagian penganggrek telah mampu melakukan tekhnik ini.
* Mutasi, secara alami mutasi sangat sulit terjadi. Beberapa literatur peluangnya 1 : 100 000 000. Dengan memberikan induksi tertentu melalui kultur jaringan hal tersebut lebih mudah untuk diatur. Tanaman yang mengalami mutasi permanen biasanya memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi
* Bank plasma, dengan meminimalkan pertumbuhan secara ‘in-vitro’ kita bisa mengoleksi tanaman anggrek langka tanpa harus memiliki lahan yang luas dan perawatan intensif. Baik untuk spesies langka Indonesia maupun dari luar negeri untuk menjaga keaslian genetis yang sangat penting dalam proses pemuliaan anggrek.
sumber:
http://www.membuatblog.web.id/2010/02/teknik-kultur-jaringan.html
Metode kultur jaringan dikembangkan untuk membantu memperbanyak tanaman, khususnya untuk tanaman yang sulit dikembangbiakkan secara generatif. Bibit yang dihasilkan dari kultur jaringan mempunyai beberapa keunggulan, antara lain: mempunyai sifat yang identik dengan induknya, dapat diperbanyak dalam jumlah yang besar sehingga tidak terlalu membutuhkan tempat yang luas, mampu menghasilkan bibit dengan jumlah besar dalam waktu yang singkat, kesehatan dan mutu bibit lebih terjamin, kecepatan tumbuh bibit lebih cepat dibandingkan dengan perbanyakan konvensional.
Tahapan yang dilakukan dalam perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan adalah:
1) Pembuatan media
2) Inisiasi
3) Sterilisasi
4) Multiplikasi
5) Pengakaran
6) Aklimatisasi
Media merupakan faktor penentu dalam perbanyakan dengan kultur jaringan. Komposisi media yang digunakan tergantung dengan jenis tanaman yang akan diperbanyak. Media yang digunakan biasanya terdiri dari garam mineral, vitamin, dan hormon. Selain itu, diperlukan juga bahan tambahan seperti agar, gula, dan lain-lain. Zat pengatur tumbuh (hormon) yang ditambahkan juga bervariasi, baik jenisnya maupun jumlahnya, tergantung dengan tujuan dari kultur jaringan yang dilakukan. Media yang sudah jadi ditempatkan pada tabung reaksi atau botol-botol kaca. Media yang digunakan juga harus disterilkan dengan cara memanaskannya dengan autoklaf.
Inisiasi adalah pengambilan eksplan dari bagian tanaman yang akan dikulturkan. Bagian tanaman yang sering digunakan untuk kegiatan kultur jaringan adalah tunas.
Sterilisasi adalah bahwa segala kegiatan dalam kultur jaringan harus dilakukan di tempat yang steril, yaitu di laminar flow dan menggunakan alat-alat yang juga steril. Sterilisasi juga dilakukan terhadap peralatan, yaitu menggunakan etanol yang disemprotkan secara merata pada peralatan yang digunakan. Teknisi yang melakukan kultur jaringan juga harus steril.
Multiplikasi adalah kegiatan memperbanyak calon tanaman dengan menanam eksplan pada media. Kegiatan ini dilakukan di laminar flow untuk menghindari adanya kontaminasi yang menyebabkan gagalnya pertumbuhan eksplan. Tabung reaksi yang telah ditanami ekplan diletakkan pada rak-rak dan ditempatkan di tempat yang steril dengan suhu kamar.
Pengakaran adalah fase dimana eksplan akan menunjukkan adanya pertumbuhan akar yang menandai bahwa proses kultur jaringan yang dilakukan mulai berjalan dengan baik. Pengamatan dilakukan setiap hari untuk melihat pertumbuhan dan perkembangan akar serta untuk melihat adanya kontaminasi oleh bakteri ataupun jamur. Eksplan yang terkontaminasi akan menunjukkan gejala seperti berwarna putih atau biru (disebabkan jamur) atau busuk (disebabkan bakteri).
Aklimatisasi adalah kegiatan memindahkan eksplan keluar dari ruangan aseptic ke bedeng. Pemindahan dilakukan secara hati-hati dan bertahap, yaitu dengan memberikan sungkup. Sungkup digunakan untuk melindungi bibit dari udara luar dan serangan hama penyakit karena bibit hasil kultur jaringan sangat rentan terhadap serangan hama penyakit dan udara luar. Setelah bibit mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya maka secara bertahap sungkup dilepaskan dan pemeliharaan bibit dilakukan dengan cara yang sama dengan pemeliharaan bibit generatif.
Keunggulan inilah yang menarik bagi produsen bibit untuk mulai mengembangkan usaha kultur jaringan ini. Saat ini sudah terdapat beberapa tanaman kehutanan yang dikembangbiakkan dengan teknik kultur jaringan, antara lain adalah: jati, sengon, akasia, dll.
Bibit hasil kultur jaringan yang ditanam di beberapa areal menunjukkan pertumbuhan yang baik, bahkan jati hasil kultur jaringan yang sering disebut dengan jati emas dapat dipanen dalam jangka waktu yang relatif lebih pendek dibandingkan dengan tanaman jati yang berasal dari benih generatif, terlepas dari kualitas kayunya yang belum teruji di Indonesia. Hal ini sangat menguntungkan pengusaha karena akan memperoleh hasil yang lebih cepat. Selain itu, dengan adanya pertumbuhan tanaman yang lebih cepat maka lahan-lahan yang kosong dapat c
KEUNTUNGAN PEMANFAATAN
KULTUR JARINGAN
š Pengadaan bibit tidak tergantung musim
š Bibit dapat diproduksi dalam jumlah banyak
dengan waktu yang relatif lebih cepat (dari
satu mata tunas yang sudah respon dalam 1
tahun dapat dihasilkan minimal 10.000
planlet/bibit)
š Bibit yang dihasilkan seragam
š Bibit yang dihasilkan bebas penyakit (meng
gunakan organ tertentu)
š Biaya pengangkutan bibit relatif lebih murah
dan mudah
š Dalam proses pembibitan bebas dari gang
guan hama, penyakit, dan deraan lingkungan
lainnya
KULTUR jaringan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
membuat bagian tanaman (akar, tunas, jaringan tumbuh tanaman) tumbuh
menjadi tanaman utuh (sempurna) dikondisi invitro (didalam gelas).
Keuntungan dari kultur jaringan lebih hemat tempat, hemat waktu, dan
tanaman yang diperbanyak dengan kultur jaringan mempunyai sifat sama
atau seragam dengan induknya. Contoh tanaman yang sudah lazim
diperbanyak secara kultur jaringan adalah tanaman anggrek.
Bagian 2
Persyaratan Lokasi
Laboratorium kultur jaringan hendaknya jauh dari sumber polusi, dekat dengan sumber tenaga listrik dan air. Untuk menghemat tenaga listrik, ada baiknya bila laboratorium kultur jaringan ditempatkan di daerah tinggi, agar suhu ruangan tetap rendah.
Kapasitas Labotarium
Ukuran laboratorium tergantung pada jumlah bibit yang akan diproduksi. Untuk ukuran laboratorium sekitar 250 m2, bibit yang dapat diproduksi tiap tahun sekitar 400–500.000 planlet/bibit, yang dapat memenuhi pertanaman seluas 500–800 ha.
Dalam suatu laboratorium minimal terdapat 5 ruangan terpisah, yaitu gudang (ruang) untuk penyimpanan bahan, ruang pembuatan media, ruang tanam, ruang inkubasi (untuk pertunasan dan pembentukan planlet/bibit tanaman) dan rumah kaca.
Peralatan dan Bahan Kimia
Untuk memproduksi bibit melalui kultur jaringan peralatan minimal yang perlu disediakan adalah: laminar air flow, pinset, pisau, rak kultur, AC, hot plate + stirrer, pH meter, oven, dan kulkas serta bahan kimia (garam makro + mikro, vitamin, zat pengatur tumbuh, asam amino, alkohol, clorox).
Proses Produksi
Proses perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan terdiri atas seleksi pohon induk (sumber eksplan), sterilisasi eksplan, inisiasi tunas, multiplikasi, perakaran, dan aklimatisasi seperti terlihat pada diagram.
Sumber eksplan. Eksplan berupa mata tunas, diambil dari pohon induk yang fisiknya sehat. Tunas tersebut selanjutnya disterilkan dengan alkohol 70%, HgCl2 0,2%, dan Clorox 30%.
Inisiasi tunas. Eksplan yang telah disterilkan di-kulturkan dalam media kultur (MS + BAP). Setelah terbentuk tunas, tunas tersebut disubkultur dalam media multiplikasi (MS + BAP) dan beberapa komponen organik lainnya.
Multiplikasi. Multiplikasi dilakukan secara berulang sampai diperoleh jumlah tanaman yang dikehendaki, sesuai dengan kapasitas laborato-rium. Setiap siklus multiplikasi berlangsung selama 2–3 bulan. Untuk biakan (tunas) yang telah responsif stater cultur, dalam periode tersebut dari 1 tunas dapat dihasilkan 10-20 tunas baru. Setelah tunas mencapai jumlah yang diinginkan, biakan dipindahkan (dikulturkan) pada media perakaran.
Perakaran. Untuk perakaran digunakan media MS + NAA. Proses perakaran pada umumnya berlangsung selama 1 bulan. Planlet (tunas yang telah berakar) diaklimatisasikan sampai bibit cukup kuat untuk ditanam di lapang.
Aklimatisasi. Dapat dilakukan di rumah kaca, rumah kasa atau pesemaian, yang kondisinya (terutama kelembaban) dapat dikendalikan. Planlet dapat ditanam dalam dua cara. Pertama, planlet ditanam dalam polibag diameter 10 cm yang berisi media (tanah + pupuk kandang) yang telah disterilkan. Planlet (dalam polibag) dipelihara di rumah kaca atau rumah kasa. Kedua, bibit ditaruh di atas bedengan yang dinaungi dengan plastik. Lebar pesemaian 1-1,2 m, panjangnya tergantung keadaan tempat. Dua sampai tiga minggu sebelum tanam, bedengan dipupuk dengan pupuk kandang (4 kg/m2) dan disterilkan dengan formalin 4%. Planlet ditanam dengan jarak 20 cm x 20 cm. Aklimatisasi berlangsung selama 2-3 bulan. Aklimatisasi cara pertama dapat dilakukan bila lokasi pertanaman letaknya jauh dari pesemaian dan cara kedua dilakukan bila pesemaian berada di sekitar areal pertanaman.
Keuntungan Pemanfaatan Kultur Jaringan
• Pengadaan bibit tidak tergantung musim
• Bibit dapat diproduksi dalam jumlah banyak dengan waktu yang relatif lebih cepat (dari satu mata tunas yang sudah respon dalam 1 tahun dapat dihasilkan minimal 10.000 planlet/bibit)
• Bibit yang dihasilkan seragam
• Bibit yang dihasilkan bebas penyakit (menggunakan organ tertentu)
• Biaya pengangkutan bibit relatif lebih murah dan mudah
• Dalam proses pembibitan bebas dari gangguan hama, penyakit, dan deraan lingkungan lainnya
Bagian 3
Perkembangan kultur jaringan di Indonesia terasa sangat lambat, bahkan hampir dikatakan jalan di tempat jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya, tidaklah heran jika impor bibit anggrek dalam bentuk ‘flask’ sempat membanjiri nursery-nursery anggrek di negara kita. Selain kesenjangan teknologi di lini akademisi, lembaga penelitian, publik dan pecinta anggrek, salah satu penyebab teknologi ini menjadi sangat lambat perkembangannya adalah karena adanya persepsi bahwa diperlukan investasi yang ’sangat mahal’ untuk membangun sebuah lab kultur jaringan, dan hanya cocok atau ‘feasible’ untuk perusahaan.
Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa, salah satunya adalah anggrek, diperkirakan sekitar 5000 jenis anggrek spesies tersebar di hutan wilayah Indonesia. Potensi ini sangat berharga bagi pengembang dan pecinta anggrek di Indonesia, khususnya potensi genetis untuk menghasilkan anggrek silangan yang memiliki nilai komersial tinggi. Potensi tersebut akan menjadi tidak berarti manakala penebangan hutan dan eksploitasi besar-besaran terjadi hutan kita, belum lagi pencurian terang-terangan ataupun “terselubung” dengan dalih kerjasama dan sumbangan penelitian baik oleh masyarakat kita maupun orang asing.
Sementara itu hanya sebagian kecil pihak yang mampu melakukan pengembangan dan pemanfaatan anggrek spesies, khususnya yang berkaitan dengan teknologi kultur jaringan. Tidak dipungkiri bahwa metode terbaik hingga saat ini dalam pelestarian dan perbanyakan anggrek adalah dengan kultur jaringan, karena melalui kuljar banyak hal yang bisa dilakukan dibandingkan dengan metode konvensional.
Secara prinsip, lab kultur jaringan dapat disederhanakan dengan melakukan modifikasi peralatan dan bahan yang digunakan, sehingga sangat dimungkinkan kultur jaringan seperti ‘home industri’. Hal ini dapat dilihat pada kelompok petani ‘pengkultur biji anggrek’ di Malang yang telah sedemikian banyak.
Beberapa gambaran dan potensi yang bisa dimunculkan dalam kultur jaringan diantaranya adalah :
* Kultur meristem, dapat menghasilkan anggrek yang bebas virus,sehingga sangat tepat digunakan pada tanaman anggrek spesies langka yang telah terinfeksi oleh hama penyakit, termasuk virus.
* Kultur anther, bisa menghasilkan anggrek dengan genetik haploid (1n), sehingga bentuknya lebih kecil jika dibandingkan dengan anggrek diploid (2n). Dengan demikian sangat dimungkinkan untuk menghasilkan tanaman anggrek mini, selain itu dengan kultur anther berpeluang memunculkan sifat resesif unggul yang pada kondisi normal tidak akan muncul karena tertutup oleh yang dominan
* Dengan tekhnik poliploid dimungkinkan untuk mendapatkan tanaman anggrek ‘giant’ atau besar. Tekhnik ini salah satunya dengan memberikan induksi bahan kimia yang bersifat menghambat (cholchicine)
* Kloning, tekhnik ini memungkinkan untuk dihasilkan anggrek dengan jumlah banyak dan seragam, khususnya untuk jenis anggrek bunga potong. Sebagian penganggrek telah mampu melakukan tekhnik ini.
* Mutasi, secara alami mutasi sangat sulit terjadi. Beberapa literatur peluangnya 1 : 100 000 000. Dengan memberikan induksi tertentu melalui kultur jaringan hal tersebut lebih mudah untuk diatur. Tanaman yang mengalami mutasi permanen biasanya memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi
* Bank plasma, dengan meminimalkan pertumbuhan secara ‘in-vitro’ kita bisa mengoleksi tanaman anggrek langka tanpa harus memiliki lahan yang luas dan perawatan intensif. Baik untuk spesies langka Indonesia maupun dari luar negeri untuk menjaga keaslian genetis yang sangat penting dalam proses pemuliaan anggrek.
sumber:
http://www.membuatblog.web.id/2010/02/teknik-kultur-jaringan.html
Panen kelapa
Waktu pemanenan atau pemetikakn hasil buah kelapa berbeda-beda, tergantung dari varietas kelapa, factor tanah, iklim serta baik buruknya pemeliharaan. Pada umumnya tanaman kelapa varietas genjah mulai menghasilkan buah pada umur 3-4 tahun. Untuk varietas dalam, kelapa mulai menghasilkan buah pada umur 6-8 tahun.
Masa puncak produksi kelapa juga berbeda-beda. Unruk kelapa dalam masa puncak produksinya pada umur antara 15-20 tahun. Setelah berumur 20 tahun produksinya berangsur turun dan setelah berumur 40 tahun produksinya merosot. Sedang kelapa genjah/hibrida, masa produksi puncak antara umur 10-18 tahun. Setelah berumur 18 tahun produksi mulai berangsur turun dan merosot setalah umur 30 tahun.
Saat pemungutan hasil, selain ditentukan oleh beberapa factor di atas (varietas kelapa, tanah dll), juga masih di tentukan oleh kegunaannya, misalnya
Untuk keperluan minuman
Di daerah-daerah yang berdekatan kota besar, umumnya penduduk memungut hasil berupa buah yang masih muda (degan), dan dipasarkan dengan harga yang lebih tinggi daripada kelapa masak. Beberapa minuman segar yang berasal dari kelapa muda, sangat digemari terutama didaerah hawa panas dan kota besar yang selalu ramai dan padat dengan penduduk. Pemungutan buah muda selain sebagai minuman segar, juga dipergunakan sebagai obat penyakit trtentu, misalnya degan (kelapa muda) dari jenis kelapa hijauu dan lain-lain.
Untuk kopra
Buah kelapa tua (masak) ditandai dengan :
· Penampakan sabut mulai mengering,
· Tempurung sudah berwarna hitam,
· Air kelapa mulai berkurang,bila dikocok berbunyi,
· Berat buah menurun (rata-rata perbuah berat kelapa genjah tinggal 1,5 kg dan kelapa dalam 2 kg),
· Pembentukan putih lembaga sempurna (padat) dan jika tidak dipetik buah yang masak akan jatuh dengan sendirinya.
Kebaikan buah masak :
Kadar kopra dan kadar minyaknya maksimal
Kualitas kopra dan kualitas minyaknya tinggi
Kugunaannya sangat banyak, baik sebagai bahan konsumsi maupun industry.
Untuk benih
Buah yang masak benar dan jatuh dengan sendirinya, diperkirakan umurnya menjelang bulan ke 16. Pemungutan buah untuk benih, diharapkan adalah buah yang masaknya benar, tetapi belum sampai jatuh dengan sendirinya dari pohon.
Pemanenan buah kelapa dilakukan terhadap buah yang berumur 11-12 bulan. Buah yang tidak dipanen pada umur tersebut akan jatuh dengan sendirinya, sedangkan jika panen dilakukan lebih awal buah akan sukar dilepas dari tangkainya.
Rotasi / periode Pemanenan
Pemetikan buah kelapa tidak dilakukan setiapa hari, sebab akan labih banyak memerlukan pengawasan dan penghamburan baiya. Oleh karena itu, untuk menghemat biaya dan waktu dilakukan suatu pergiliran pemetikan, umumnya berkisar 1-2 bulan. Di daerah dengan jumlah tenaga kerja banyak dan ongkos yang murah dapat melakukan pemanenan 1 bulan sekali. Sedangkan daerah dengan tenaga kerja sedikit dan upah yang tinggi dapat melakukan panen 2 bulan sekali. Jika rotasi pemanenan dilakukan lebih dari 2 bulan, kemungkinan besar sudah banyak buah kelapa yang jatuh ke tanah dan pembersihan tajuk akan terlambat. Sebaliknya jika rotasi pemetikan dilakukan kurang dari satu bulan, efisiensi tenaga kerja berkurang karena buah kelapa yang benar-benar masak baru sedikit.
Frekuensi panen dapat dilakukan sebulan sekali dengan menunggu jatuhnya buah kelapa yang telah masak, tetapi umumnya panenan dilakukan terhadap 2 bahkan 3 tandan sekaligus. Hal ini tidak begitu berpengaruh terhadap mutu buah karena menurut Padua Resurrection dan Banson (1979) kadar asam lemak pada minyak kelapa yang berasal dari tandan berumur tiga bulan lebih muda sama dengan buah dari tandan yang dipanen sehingga biaya panen dapat dihemat.
Waktu panen dapat dilakukan pagi hari sampai sore hari asal keadaan lingkuangan mendukung misalnya cuaca tidak hujan.
Teknik Pemanenan
Cara panen buah kelapa di berbagai daerah dan berbagai negara berbeda-beda sesuai dengan adat, kebiasaan dan kondisi masing-masing tempat, misalnya :
Buah kelapa dibiarkan jatuh: kekurangan, yaitu buah yang jatuh sudah lewat masak, sehingga tidak sesuai untuk bahan baku kopra atau bahan baku kelapa parutan kelapa kering (desiccated coconut).
Cara dipanjat: dilakukan pada musim kemarau saja. Alat yang digunakan adalah sabit atau parang.
Keuntungan yaitu :
(1) Dengan memanjat pohon kelapa, dapat dipilih buah kelapa yang siap panen (criteria panen) sekaligus dilakukan pembersihan mahkota daun.;
(2) dapat memilih buah kelapa siap panen dengan kemampuan rata-rata 25 pohon per-orang.
Kelemahan adalah merusak pohon, karena harus membuat tataran untuk berpijak.Namun, pemotongan dilakukan untuk membangun langkah-langkah dalam bagasi di negara-negara tertentu untuk memudahkan memanjat pohon membuat kurang cocok untuk tujuan kayu dan patah tulang berfungsi sebagai pintu masuk untuk hama.
Cara panen dengan galah: menggunakan bambu yang disambung dan ujungnya dipasang pisau tajam berbentuk pengait. Kemampuan pemetikan rata-rata 100 pohon/orang/hari.
Pemanenan menggunakan tiang bambu umumnya lebih cepat, lebih efisien, kurang membosankan, dan kurang berbahaya bila dibandingkan dengan memanjat. Dengan tiang bambu,
Selain tenaga manusia, pemetikan dapat menggunakan bantuan binatang (kera/beruk).Di beberapa daerah di Pulau Sumatera, sering kali pemetikan dilakukan oleh kera (beruk). Kecepatan pemetikan oleh beruk 400 butir sehari dengan masa istirahat 1 jam, tetapi beruk tidak dapat membersihkan mahkota daun dan selektivitasnya kurang. Metode ini adalah hanya dipraktekkan di Thailand, Malaysia dan Indonesia. Pemanenan kelapa dengan menggunakan monyet terlatih dianggap efisien dan efektif biaya terutama di daerah di mana tenaga kerja menjadi langka.
Metode pemanenan dengan galah bambu
Pemanenan buah kelapa dengan dipanjat
Pemanenan buah kelapa dengan dipanjat dengan tali pengikat di India
Produksi Buah
Kuantitas hasil panen buah kelapa dipengaruhi oleh varietas tanaman kelapa, teknik budidaya yang dilakukan, keadaan tanah dan iklim, keadaan air tanah, serangan hama dan penyakit serta umur tanaman. Kelapa jenis genjah dapat menghasilkan buah antara 9.000-11.000 butir/ha/tahun atau setara dengan 1,5-2 ton kopra. Kelapa jenis dalam dapat menghasilkan buah sekitar 4.000-5.000 butir/ha/tahun atau setara dengan 1-1,25 ton kopra. Produktivitas kelapa dapat ditingkatkan dengan pemeliharaan yang intensif.
Pemungutan hasil (panen) kelapa
Pemungutan hasil tanaman kelapa harus memperhatikan langkah-langkah berikut ini :
Langkah 1
Tunggu pohon kelapa Anda untuk mulai menghasilkan buah. Pohon kelapa dalam kondisi yang ideal biasanya tidak mulai memproduksi kelapa sampai mereka antara empat dan enam tahun. pohon kelapa yang tumbuh dalam kondisi yang buruk, cuaca kurang baik, atau dalam tanah dengan tanah liat tinggi dan konsentrasi pasir tidak dapat menghasilkan buah kelapa selama bertahun-tahun 15 atau 20 setelah ditanam.
Langkah 2
Melacak siklus hidup kelapa Anda. Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa, kelapa, dibutuhkan sekitar 12 bulan dari saat pertama kali diproduksi siap untuk panen.
Langkah 3
Periksa warna sekam kelapa masing-masing. Kelapa dengan sepenuhnya atau sebagian besar sekam cokelat siap dipanen dan dapat dipetik langsung dari pohon atau dari tanah jika mereka telah jatuh.
Langkah 4
Semua panen kelapa matang dari pohon kelapa atau dari tanah setiap 40 hari untuk pohon yang sering memproduksi kelapa, dan sampai 90 hari jika pohon kelapa memproduksi kurang.
Langkah 5
Pilih metode pemanenan. Di India, kelapa dikeluarkan dari pohon dengan bantuan perangkat tiang grips pohon untuk memungkinkan pekerja untuk mendaki aman. Di Thailand, Malaysia dan Indonesia, monyet terlatih digunakan untuk menjalankan sampai pohon dan drop semua kelapa yang siap untuk dipanen. Jika tidak, kelapa biasanya dibiarkan jatuh dari pohon saat mereka siap untuk dipanen dan kemudian dikumpulkan dari tanah.
Referensi :
http://www.fao.org/inpho/content/compend/text/ch15-01.htm
http://www.gardenguides.com/69265-harvest-coconut.html
http://Ic.bppt.go.id/iptek/index.php?
http://insidewinme.blogspot.com/2007/11/budidaya-kelapa.html
PDF (profil investasi biofuel dari kelapa)
“Buku kerja produksi tanaman perkebunan I KELAPA” oleh cv Yasaguna.
Suhardiman, p..1994.Bertanam Kelapa Hibrida.Jakarta:Penebar swadaya.
Masa puncak produksi kelapa juga berbeda-beda. Unruk kelapa dalam masa puncak produksinya pada umur antara 15-20 tahun. Setelah berumur 20 tahun produksinya berangsur turun dan setelah berumur 40 tahun produksinya merosot. Sedang kelapa genjah/hibrida, masa produksi puncak antara umur 10-18 tahun. Setelah berumur 18 tahun produksi mulai berangsur turun dan merosot setalah umur 30 tahun.
Saat pemungutan hasil, selain ditentukan oleh beberapa factor di atas (varietas kelapa, tanah dll), juga masih di tentukan oleh kegunaannya, misalnya
Untuk keperluan minuman
Di daerah-daerah yang berdekatan kota besar, umumnya penduduk memungut hasil berupa buah yang masih muda (degan), dan dipasarkan dengan harga yang lebih tinggi daripada kelapa masak. Beberapa minuman segar yang berasal dari kelapa muda, sangat digemari terutama didaerah hawa panas dan kota besar yang selalu ramai dan padat dengan penduduk. Pemungutan buah muda selain sebagai minuman segar, juga dipergunakan sebagai obat penyakit trtentu, misalnya degan (kelapa muda) dari jenis kelapa hijauu dan lain-lain.
Untuk kopra
Buah kelapa tua (masak) ditandai dengan :
· Penampakan sabut mulai mengering,
· Tempurung sudah berwarna hitam,
· Air kelapa mulai berkurang,bila dikocok berbunyi,
· Berat buah menurun (rata-rata perbuah berat kelapa genjah tinggal 1,5 kg dan kelapa dalam 2 kg),
· Pembentukan putih lembaga sempurna (padat) dan jika tidak dipetik buah yang masak akan jatuh dengan sendirinya.
Kebaikan buah masak :
Kadar kopra dan kadar minyaknya maksimal
Kualitas kopra dan kualitas minyaknya tinggi
Kugunaannya sangat banyak, baik sebagai bahan konsumsi maupun industry.
Untuk benih
Buah yang masak benar dan jatuh dengan sendirinya, diperkirakan umurnya menjelang bulan ke 16. Pemungutan buah untuk benih, diharapkan adalah buah yang masaknya benar, tetapi belum sampai jatuh dengan sendirinya dari pohon.
Pemanenan buah kelapa dilakukan terhadap buah yang berumur 11-12 bulan. Buah yang tidak dipanen pada umur tersebut akan jatuh dengan sendirinya, sedangkan jika panen dilakukan lebih awal buah akan sukar dilepas dari tangkainya.
Rotasi / periode Pemanenan
Pemetikan buah kelapa tidak dilakukan setiapa hari, sebab akan labih banyak memerlukan pengawasan dan penghamburan baiya. Oleh karena itu, untuk menghemat biaya dan waktu dilakukan suatu pergiliran pemetikan, umumnya berkisar 1-2 bulan. Di daerah dengan jumlah tenaga kerja banyak dan ongkos yang murah dapat melakukan pemanenan 1 bulan sekali. Sedangkan daerah dengan tenaga kerja sedikit dan upah yang tinggi dapat melakukan panen 2 bulan sekali. Jika rotasi pemanenan dilakukan lebih dari 2 bulan, kemungkinan besar sudah banyak buah kelapa yang jatuh ke tanah dan pembersihan tajuk akan terlambat. Sebaliknya jika rotasi pemetikan dilakukan kurang dari satu bulan, efisiensi tenaga kerja berkurang karena buah kelapa yang benar-benar masak baru sedikit.
Frekuensi panen dapat dilakukan sebulan sekali dengan menunggu jatuhnya buah kelapa yang telah masak, tetapi umumnya panenan dilakukan terhadap 2 bahkan 3 tandan sekaligus. Hal ini tidak begitu berpengaruh terhadap mutu buah karena menurut Padua Resurrection dan Banson (1979) kadar asam lemak pada minyak kelapa yang berasal dari tandan berumur tiga bulan lebih muda sama dengan buah dari tandan yang dipanen sehingga biaya panen dapat dihemat.
Waktu panen dapat dilakukan pagi hari sampai sore hari asal keadaan lingkuangan mendukung misalnya cuaca tidak hujan.
Teknik Pemanenan
Cara panen buah kelapa di berbagai daerah dan berbagai negara berbeda-beda sesuai dengan adat, kebiasaan dan kondisi masing-masing tempat, misalnya :
Buah kelapa dibiarkan jatuh: kekurangan, yaitu buah yang jatuh sudah lewat masak, sehingga tidak sesuai untuk bahan baku kopra atau bahan baku kelapa parutan kelapa kering (desiccated coconut).
Cara dipanjat: dilakukan pada musim kemarau saja. Alat yang digunakan adalah sabit atau parang.
Keuntungan yaitu :
(1) Dengan memanjat pohon kelapa, dapat dipilih buah kelapa yang siap panen (criteria panen) sekaligus dilakukan pembersihan mahkota daun.;
(2) dapat memilih buah kelapa siap panen dengan kemampuan rata-rata 25 pohon per-orang.
Kelemahan adalah merusak pohon, karena harus membuat tataran untuk berpijak.Namun, pemotongan dilakukan untuk membangun langkah-langkah dalam bagasi di negara-negara tertentu untuk memudahkan memanjat pohon membuat kurang cocok untuk tujuan kayu dan patah tulang berfungsi sebagai pintu masuk untuk hama.
Cara panen dengan galah: menggunakan bambu yang disambung dan ujungnya dipasang pisau tajam berbentuk pengait. Kemampuan pemetikan rata-rata 100 pohon/orang/hari.
Pemanenan menggunakan tiang bambu umumnya lebih cepat, lebih efisien, kurang membosankan, dan kurang berbahaya bila dibandingkan dengan memanjat. Dengan tiang bambu,
Selain tenaga manusia, pemetikan dapat menggunakan bantuan binatang (kera/beruk).Di beberapa daerah di Pulau Sumatera, sering kali pemetikan dilakukan oleh kera (beruk). Kecepatan pemetikan oleh beruk 400 butir sehari dengan masa istirahat 1 jam, tetapi beruk tidak dapat membersihkan mahkota daun dan selektivitasnya kurang. Metode ini adalah hanya dipraktekkan di Thailand, Malaysia dan Indonesia. Pemanenan kelapa dengan menggunakan monyet terlatih dianggap efisien dan efektif biaya terutama di daerah di mana tenaga kerja menjadi langka.
Metode pemanenan dengan galah bambu
Pemanenan buah kelapa dengan dipanjat
Pemanenan buah kelapa dengan dipanjat dengan tali pengikat di India
Produksi Buah
Kuantitas hasil panen buah kelapa dipengaruhi oleh varietas tanaman kelapa, teknik budidaya yang dilakukan, keadaan tanah dan iklim, keadaan air tanah, serangan hama dan penyakit serta umur tanaman. Kelapa jenis genjah dapat menghasilkan buah antara 9.000-11.000 butir/ha/tahun atau setara dengan 1,5-2 ton kopra. Kelapa jenis dalam dapat menghasilkan buah sekitar 4.000-5.000 butir/ha/tahun atau setara dengan 1-1,25 ton kopra. Produktivitas kelapa dapat ditingkatkan dengan pemeliharaan yang intensif.
Pemungutan hasil (panen) kelapa
Pemungutan hasil tanaman kelapa harus memperhatikan langkah-langkah berikut ini :
Langkah 1
Tunggu pohon kelapa Anda untuk mulai menghasilkan buah. Pohon kelapa dalam kondisi yang ideal biasanya tidak mulai memproduksi kelapa sampai mereka antara empat dan enam tahun. pohon kelapa yang tumbuh dalam kondisi yang buruk, cuaca kurang baik, atau dalam tanah dengan tanah liat tinggi dan konsentrasi pasir tidak dapat menghasilkan buah kelapa selama bertahun-tahun 15 atau 20 setelah ditanam.
Langkah 2
Melacak siklus hidup kelapa Anda. Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa, kelapa, dibutuhkan sekitar 12 bulan dari saat pertama kali diproduksi siap untuk panen.
Langkah 3
Periksa warna sekam kelapa masing-masing. Kelapa dengan sepenuhnya atau sebagian besar sekam cokelat siap dipanen dan dapat dipetik langsung dari pohon atau dari tanah jika mereka telah jatuh.
Langkah 4
Semua panen kelapa matang dari pohon kelapa atau dari tanah setiap 40 hari untuk pohon yang sering memproduksi kelapa, dan sampai 90 hari jika pohon kelapa memproduksi kurang.
Langkah 5
Pilih metode pemanenan. Di India, kelapa dikeluarkan dari pohon dengan bantuan perangkat tiang grips pohon untuk memungkinkan pekerja untuk mendaki aman. Di Thailand, Malaysia dan Indonesia, monyet terlatih digunakan untuk menjalankan sampai pohon dan drop semua kelapa yang siap untuk dipanen. Jika tidak, kelapa biasanya dibiarkan jatuh dari pohon saat mereka siap untuk dipanen dan kemudian dikumpulkan dari tanah.
Referensi :
http://www.fao.org/inpho/content/compend/text/ch15-01.htm
http://www.gardenguides.com/69265-harvest-coconut.html
http://Ic.bppt.go.id/iptek/index.php?
http://insidewinme.blogspot.com/2007/11/budidaya-kelapa.html
PDF (profil investasi biofuel dari kelapa)
“Buku kerja produksi tanaman perkebunan I KELAPA” oleh cv Yasaguna.
Suhardiman, p..1994.Bertanam Kelapa Hibrida.Jakarta:Penebar swadaya.
Senin, 04 April 2011
Irigasi Tetes
Drip Irigasi - A dripper dalam aksi
Irigasi tetes, juga dikenal sebagai irigasi tetesan atau microirrigation, adalah irigasi metode yang menghemat air dan pupuk dengan memungkinkan air menetes perlahan-lahan ke akar tanaman, baik ke tanah permukaan atau langsung ke zona akar , melalui jaringan katup , pipa , tubing , dan Pemancar .
Sejarah
Irigasi tetes telah digunakan sejak zaman kuno ketika dikuburkan pot tanah liat diisi dengan air, yang secara bertahap akan meresap ke dalam rumput. Irigasi tetes Modern mulai perkembangannya di Afghanistan pada tahun 1866 ketika para peneliti mulai bereksperimen dengan irigasi dengan menggunakan pipa tanah liat untuk menciptakan kombinasi irigasi dan drainase sistem [ rujukan? ]. Pada tahun 1913, EB House di Colorado State University berhasil dalam menerapkan air ke zona akar tanaman tanpa menaikkan tabel air . Pipa berlubang diperkenalkan di Jerman pada tahun 1920 dan tahun 1934, OE Nobey bereksperimen dengan pengairan melalui selang kanvas pori di Michigan State University [ rujukan? ].
Drip irigasi di kebun anggur New Mexico, 2002
Dengan munculnya modern plastik selama dan setelah Perang Dunia II, peningkatan besar dalam irigasi tetes menjadi mungkin. Plastik microtubing dan berbagai jenis Pemancar mulai digunakan dalam rumah kaca dari Eropa dan Amerika Serikat .
Teknologi modern irigasi tetes ditemukan di Israel oleh Simcha Blass dan putranya Yeshayahu. Daripada melepaskan air melalui lubang kecil, mudah diblokir oleh partikel kecil, air keluar melalui saluran yang lebih besar dan lebih lama dengan menggunakan kecepatan untuk memperlambat air di dalam plastik emitor. Sistem eksperimental pertama dari jenis ini didirikan pada tahun 1959 ketika Blass bermitra dengan Kibbutz Hatzerim untuk menciptakan sebuah perusahaan irigasi disebut Netafim . Bersama-sama mereka mengembangkan dan mematenkan permukaan emiter irigasi tetes pertama praktis. Metode ini sangat sukses dan kemudian menyebar ke Australia, Amerika Utara, dan Amerika Selatan pada akhir 1960-an.
Di Amerika Serikat, di awal 1960-an, rekaman tetes pertama, disebut Dew Selang, dikembangkan oleh Richard Chapin Chapin dari Watermatics (sistem pertama kali didirikan pada 1964). Di Pakistan telah dipromosikan oleh Komisi Energi Atom Pakistan, Bank Pembangunan Pertanian serta pemerintah berturut-turut. ' Awal tahun 1989, irigasi Jain membantu merintis manajemen yang efektif-air melalui irigasi tetes di India. irigasi Jain juga memperkenalkan beberapa pendekatan pemasaran irigasi tetes untuk India pertanian seperti `Sistem Terpadu Pendekatan ', One-Stop-Shop untuk Petani,` Status untuk Infrastruktur Drip Irigasi & Farm sebagai Industri. Perkembangan terakhir di lapangan melibatkan bahkan penurunan lebih lanjut di tingkat tetes yang disampaikan dan kecenderungan kurang untuk menyumbat. Salah satu nama bergengsi di bidang irigasi tetes di India Kisan irigasi Limited. Meskipun di antara nama-nama top di bidang Pipa & Pemasangan di India, mereka adalah peserta terlambat dalam bidang ini. Namun, mereka telah membuat langkah penting dengan produk mereka yang inovatif & futuristik seperti Hydrozig & Flat berkisar di driplines serta semi-portabel, portabel dan fleksibel Mini dan Micro Sprinkler Sistem irigasi bagi petani di India. System mereka telah diterima secara luas oleh petani karena menyumbat tingkat terendah dalam kondisi operasional terutama disebabkan Unit Filtrasi efisien digunakan yang indigenously diproduksi di Kisan.
Irigasi tetes modern boleh dibilang telah menjadi dunia yang paling berharga inovasi dalam pertanian karena penemuan sprinkler dampak di tahun 1930-an, yang menawarkan alternatif praktis pertama yang permukaan irigasi . Drip irigasi juga dapat menggunakan perangkat yang disebut mikro-semprot kepala, yang semprotan air di daerah kecil, bukan menetes Pemancar. Ini umumnya digunakan pada pohon dan tanaman merambat dengan zona akar yang lebih luas. Bawah permukaan irigasi tetes (SDI) menggunakan secara permanen atau untuk sementara dikubur dripperline atau tetes tape yang terletak pada atau di bawah akar tanaman. Hal ini menjadi populer untuk irigasi tanaman baris, terutama di daerah di mana air persediaan atau daur ulang air yang terbatas digunakan untuk irigasi. Hati-hati mempelajari semua faktor yang relevan seperti topografi tanah, tanah, air, tanaman dan kondisi agro-iklim yang diperlukan untuk menentukan sistem irigasi tetes yang paling cocok dan komponen untuk digunakan pada instalasi yang spesifik.
Komponen dan operasi
Sistem Irigasi tetes Layout dan bagian-bagiannya
Anggur di Petrolina , hanya mungkin di semi kering daerah karena irigasi tetes.
Tercantum dalam urutan dari sumber air
• Pompa atau sumber air bertekanan
• Sistem Filtrasi: Pasir Separator seperti Hydro-Cyclone, Screen filter , Media Filter
• Sistem Fertigation (Venturi injector) dan Chemigation Peralatan (opsional)
• Backwash Controller (Preventer arus balik)
• Tekanan Control Valve (Regulator Tekanan)
• (Pipe Pipa diameter yang lebih besar dan Peralatannya)
• Tangan-dioperasikan, elektronik, atau hidrolik Control Valves Katup dan Keselamatan
• Diameter lebih kecil polytube (sering disebut sebagai "laterals")
• Poli fiting dan Aksesoris (untuk membuat sambungan)
• Perangkat Pemancar pada tanaman (ex. Emitter atau Drippers, kepala semprotan mikro, drippers inline, cincin menetes )
• Perhatikan bahwa dalam sistem irigasi tetes Pompa dan katup dapat dioperasikan secara manual atau secara otomatis oleh sebuah controller .
Sebagian besar sistem irigasi tetes menggunakan beberapa jenis filter untuk mencegah penyumbatan jalur aliran emitor kecil oleh partikel melalui air kecil. teknologi baru sekarang yang ditawarkan yang meminimalkan penyumbatan. Beberapa sistem perumahan dipasang tanpa filter tambahan karena air minum sudah disaring di pabrik pengolahan air. Hampir semua produsen peralatan irigasi tetes menyarankan filter dipekerjakan dan pada umumnya tidak akan menghormati jaminan kecuali ini dilakukan. Terakhir line filter sebelum pipa pengiriman akhir sangat dianjurkan di samping sistem filtrasi lain karena permukiman partikel halus dan penyisipan disengaja partikel di garis menengah.
Drip dan irigasi tetes bawah permukaan yang digunakan hampir secara eksklusif saat menggunakan air limbah daur ulang kota. Peraturan biasanya tidak mengizinkan penyemprotan air melalui udara yang belum sepenuhnya diperlakukan dengan standar air minum.
Karena cara air diterapkan dalam sistem infus, aplikasi permukaan tradisional time-release pupuk kadang-kadang tidak efektif, sehingga sering menetes sistem campuran pupuk cair dengan air irigasi. Ini disebut fertigation ; fertigation dan chemigation (aplikasi pestisida dan bahan kimia lainnya untuk membersihkan secara berkala sistem, seperti klorin atau asam sulfat ) menggunakan injector bahan kimia seperti pompa diafragma , pompa piston , atau pompa venturi . Bahan kimia yang dapat ditambahkan terus-menerus setiap kali sistem pengairan atau pada interval. Pupuk tabungan hingga 95% saja yang dilaporkan dari uji lapangan universitas baru-baru ini menggunakan fertigation drip dan penyaluran air lambat dibandingkan dengan time-rilis dan irigasi dengan kepala semprotan mikro.
Jika benar dirancang, dipasang, dan dikelola, irigasi tetes dapat membantu mencapai konservasi air dengan mengurangi penguapan dan drainase yang mendalam bila dibandingkan dengan jenis lain irigasi seperti banjir atau overhead sprinkler karena air bisa lebih tepat diterapkan pada akar tanaman. Selain itu, drip bisa menghilangkan banyak penyakit yang menyebar melalui kontak air dengan dedaunan. Akhirnya, di wilayah-wilayah di mana persediaan air yang sangat terbatas, mungkin tidak ada tabungan air sebenarnya, melainkan hanya peningkatan produksi saat menggunakan jumlah air yang sama seperti sebelumnya Dalam sangat daerah kering atau pada tanah berpasir , metode yang dipilih adalah menerapkan irigasi air perlahan mungkin.
Berdenyut irigasi kadang-kadang digunakan untuk mengurangi jumlah air dikirim ke pabrik pada satu waktu, sehingga mengurangi runoff atau perkolasi dalam. Berdenyut sistem biasanya mahal dan memerlukan pemeliharaan ekstensif. Oleh karena itu, upaya terakhir dengan produsen emitor difokuskan untuk mengembangkan teknologi baru yang memberikan tarif air irigasi di aliran ultra-rendah, yaitu kurang dari 1,0 liter per jam. Memperlambat dan bahkan pengiriman lebih lanjut memperbaiki efisiensi penggunaan air tanpa terkena biaya dan kompleksitas peralatan pengiriman berdenyut.
Drip irigasi digunakan oleh peternakan , komersial rumah kaca , dan perumahan tukang kebun. Irigasi tetes diadopsi secara luas di daerah kelangkaan air akut dan ter-utama untuk tanaman seperti kelapa , pohon lansekap kemas, anggur, pisang, ber, brinjal, jeruk, stroberi, tebu, kapas, jagung,dantomat .
Taman
Irigasi tetes kit Garden semakin populer untuk pemilik rumah dan terdiri dari timer , selang dan emitor . Selang yang berdiameter 4 mm digunakan untuk mengairi pot bunga.
Keuntungan / kerugian
Pisang tanaman dengan irigasi tetes di Maharashtra, India
Keuntungan dari irigasi tetes adalah:
• pupuk Memperkecil kerugian / hara akibat aplikasi lokal dan pencucian dikurangi.
• Tinggi air aplikasi efisiensi.
• Meratakan lapangan tidak perlu.
• Kemampuan untuk mengairi sawah berbentuk tidak teratur.
• Memungkinkan aman menggunakan air daur ulang.
• Kelembaban dalam zona root dapat dipertahankan pada kapasitas lapangan.
• Tanah jenis kurang berperan penting dalam frekuensi irigasi.
• Erosi tanah diminimalkan.
• Sangat seragam distribusi yaitu air, dikendalikan oleh output dari setiap nozzle.
• Biaya tenaga kerja lebih rendah.
• Variasi pasokan dapat diatur dengan mengatur katup dan drippers.
• . Fertigation dengan mudah dapat dimasukkan dengan limbah minimal pupuk.
• Dedaunan tetap kering sehingga mengurangi risiko penyakit.
• Biasanya beroperasi pada tekanan yang lebih rendah daripada jenis lain irigasi bertekanan, mengurangi biaya energi.
Kelemahan dari irigasi tetes adalah:
• biaya awal bisa lebih dari sistem overhead.
• Limbah. Matahari dapat mempengaruhi tabung digunakan untuk irigasi tetes, memperpendek hidup mereka bermanfaat. Panjang umur adalah variabel.
• Penyumbatan. Jika air tidak benar disaring dan peralatan yang tidak dipelihara dengan baik, dapat mengakibatkan penyumbatan.
• Drip irigasi mungkin tidak memuaskan jika herbisida atau pupuk berpakaian atas kebutuhan irigasi sprinkler untuk aktivasi.
• Drip menyebabkan biaya pembersihan ekstra setelah panen. Anda harus merencanakan tape menetes berkelok-kelok, pembuangan, daur ulang atau menggunakan kembali.
• Limbah air, waktu & panen, jika tidak diinstal dengan benar. Sistem ini memerlukan adanya pengkajian yang seksama terhadap semua faktor yang relevan seperti topografi tanah, tanah, air, tanaman dan kondisi agro-iklim, dan kesesuaian sistem irigasi tetes dan komponennya.
• Masalah perkecambahan. Dalam drip bawah permukaan tanah ringan mungkin tidak dapat untuk membasahi permukaan tanah untuk perkecambahan. Membutuhkan pertimbangan hati-hati kedalaman instalasi.
• Salinitas. Sebagian besar sistem infus didesain untuk efisiensi tinggi, yang berarti sedikit atau tidak ada fraksi pencucian. Tanpa pencucian cukup, garam diterapkan dengan air irigasi dapat membangun di zona akar, biasanya di tepi pola pembasahan.
Langganan:
Postingan (Atom)